KPAI: Tak Ada Bangsa yang Besar Tanpa Peran Guru

JAKARTA – Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan guru dengan peradaban masa depan tak dapat dipisahkan. Menurutnya, sebuah bangsa tak dapat menjadi besar tanpa peran guru.

“Kondisi guru saat ini akan menghasilkan potret anak bangsa 15 tahun, hingga ratusan tahun ke depan. Muliakan guru, agar namanya tetap harum. Karena, tak ada bangsa yang besar tanpa peran seorang guru,” kata Susanto lewat keterangan tertulisnya, Kamis (23/11/2017).

Menurutnya, jika Indonesia serius mengelola guru, secara tidak langsung kualitas generasi bangsa sedang dipersiapkan. Memperhatikan keadaan guru, lanjutnya, ialah investasi besar untuk mencetak kehandalan anak negeri.

“Investasi pada masa depan, (ialah) investasi pada guru. Guru adalah investasi untuk masa depan anak untuk negara,” ujarnya.

Peningkatan kesejahteraan sudah dapat dialami, salah satunya oleh guru PNS di DKI Jakarta. Meski deimikan, masih banyak pula guru honorer dan guru di sekolah swasta yang masih harus berjuang keras.

Mereka masih bersusah payah mendidik anak terutama di pelosok desa, jauh dari peradaban, bahan ajar terbatas, sumber pengetahuan minim, ditambah upah yang tak sebanding dengan perjuangannya mendidik anak negeri. Susanto berpendapat guru-guru tersebut juga mesti mendapatkan perhatian.

“Bayangkan, saat ini masih ada guru yang pekerjaannya begitu mulia, digaji Rp 200 – 350 ribu per bulan. Tetapi nafas perjuangannya untuk mendidik anak tak padam. Belum tahu pasti, mengapa guru-guru ini tetap betah mengabdi, di tengah biaya hidup yang tidak ringan. Yang pasti, dedikasi guru-guru ini sangat besar bagi anak bangsa,” tuturnya.

Susanto mengatakan, hal tersebut jadi tantangan mewujudkan guru ramah anak. Menurutnya, faktor terbesar mewujudkan guru ramah anak ialah kualitas cara berpikir.

Lemahnya ekonomi guru juga berdampak pada performa guru Indonesia. Hal ini berpotensi melemahkan kualitas anak bangsa ke depan.

“Problem anak semakin kompleks, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang tak terbendung. Bullying, kejahatan pornografi, trafficking, kejahatan berbasis cyber bahkan radikalisme telah menjadi penyakit baru yang jika guru tak mampu mendeteksi dan mencegah,” ungkapnya.

Exit mobile version