KPAI : Tak kuat dibully, ada anak sampai bunuh diri

Bullying berdampak negatif bagi anak. Mulai dari mengganggu kejiwaan, pikiran, fisik, sampai pada keputusasaan terhadap hidup. Bahkan ada anak memilih bunuh diri karena kerap dibully oleh teman-temannya itu.

Teror bully bagi anak bisa berasal dari mana saja, bukan hanya di lingkungan pergaulan sekolah, teman bermain sehari-hari, bahkan dari lingkungan keluarga dekat.

“Rata-rata seperti itu. Dari keluarga, orangtua cenderung kasih bullying buat anaknya sendiri secara tak langsung. Ditambah latar belakang ekonomi keluarga, bagaimana perbedaan pola asuh jauh berbeda,” kata Ketua Lembaga Pemerhati Bullying Anak Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Retno Wahyuni, kepada merdeka.com di Jakarta pekan lalu.

Ada beberapa faktor mempengaruhi pola asuh dengan latar belakang ekonomi. Untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, pola asuh dengan bentuk verbal menjurus kasar, terkadang tidak disadari hal itu merupakan bentuk bullying.

“Masyarakat marjinal masih membentak dan mengasari anak dengan kata bego, tolol atau lainnya dan itu berulang-ulang, pola itu membully anak,” ujar Retno.

Berbeda lagi dengan tindak-tanduk keluarga kaya. Mereka cenderung kurang perhatian. Dibiasakan serba ada dan orangtua selalu tak mau tahu perkembangan sang anak. Bagi mereka cukup sampai gerbang sekolah tanggung jawab anak sepenuhnya dipercayakan kepada lembaga pendidik.

“Yah cuma lihat hasil nilainya saja, lalu mereka membandingkan dengan temannya, masak kamu kalah pintar sama a,b,c atau d,” ujar Retno. Membandingkan kemampuan studi anak mampu menumbuhkan bullying pada anak itu sendiri.

Korban dan pelaku bullying bisa terbentuk karena pengaruh-pengaruh lingkungan terdekat. Di lingkungan pendidikan bullying seperti mata rantai. Aksi bully itu seperti warisan turun-temurun, dari senior ke junior dan seterusnya. Bahkan, pelaku bullying terkadang guru sekolah.

“Di daerah masih ditemukan guru melakukan hukuman fisik seperti menampar. Atau belum lama ini dugaan bullying mengarah ke pelecehan seksual dilakukan karyawan sekolah, kasus JIS,” ujarnya.

Retno dan kelompoknya bahkan menemukan kasus anak bunuh diri di wilayah Jakarta Timur karena aksi bullying di sekolahnya. Anak itu tidak tahan karena terus dibully, sehingga putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Data Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menyebutkan, sejak 2012 hingga 2015, dari 2 ribu anak di seluruh Indonesia, sebanyak 87 persennya mengalami kasus kekerasan yang di dalamnya termasuk bullying itu.

“Pencegahan bullying memang harus dilakukan kepada semua pihak. Antara pelaku dan korban diberikan penyadaran mulai dari orangtua dan sekolah,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah saat dihubungi merdeka.com.

Celakanya saat ini banyak yang menganggap kasus bullying itu kasus remeh temeh. Padahal, aksi itu menghantui setiap tingkatan pendidikan di Indonesia sendiri, termasuk anak-anak.

Mirisnya, aksi bullying sudah dimulai dari tingkatan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) sampai kalangan terpelajar di universitas, misalnya kasus perpeloncoan mahasiswa baru. Misalnya kasus bullying sebuah sekolah pelayaran swasta di Jakarta yang menyebabkan seorang siswa baru meninggal dunia.

Contoh lain, kasus beredarnya video kekerasan siswi sekolah dasar Trisula Perwari, Bukittinggi, Sumatera Barat. Belum lagi dengan tontonan anak-anak, lewat sinetron atau film-film dan berita di televisi yang turut menularkan bibit bullying dengan berbagai adegan kekerasan.

Ketua Dewan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi, mengatakan aksi kekerasan senior kepada juniornya di sekolah merupakan masalah mendesak dan harus segera diputus mata rantainya. “Jadi ini memang perlu dikoreksi dari sistem pendidikan kita,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Exit mobile version