KPAI : Tawuran Pasca-UN Sekadar Tren

Tawuran antarpelajar pasca-Ujian Nasional (UN) SMP/sederajat 2015 beberapa waktu lalu mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, tawuran antarpelajar pasca-UN merupakan bentuk perilaku siswa yang sekadar ingin mengikuti tren semata.

“Di sini berlaku teori imitasi dan modeling,” kata Asrorun kepada SH, Selasa (12/5). Menurut Asrorun, dalam teori imitasi atau modeling, anak melakukan sesuatu karena mengikuti contoh dari lingkungannya. Untuk itu, menurut Asrorun, keteladanan yang baik merupakan salah satu solusi penting agar masalah tawuran tidak lagi terjadi di masa mendatang.

“Anak-anak cenderung melakukan imitasi. Untuk itu, kita harus menyediakan contoh baik yang bisa mereka tiru,” ucap Asrorun. Ia mencontohkan kegiatan aktualisasi positif yang dapat menjadi pilihan untuk ditiru siswa, antara lain adalah kegiatan di bidang seni, keterampilan, dan olahraga. “Kegiatan untuk aktualisasi positif lainnya adalah bakti sosial,” tuturnya.

Menurutnya, para siswa seharusnya mendapatkan bimbingan dan pendampingan agar mereka dapat mengarahkan ekspresi kegembiraan melalui aktualisasi diri yang positif.

Ketua Subbidang Pendidikan Dasar dan Menengah Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ki Sugeng Subagya berpendapat, tawuran antarpelajar sebenarnya merupakan cara anak-anak mencari perhatian dari lingkungannya.

Melepas Ketegangan
Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikolog Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana mengutarakan, tawuran merupakan bentuk kegiatan yang bertujuan melepaskan ketegangan pasca-UN.

“Hal ini sangat disayangkan karena yang mereka pilih untuk melepaskan ketegangan itu adalah kegiatan negatif, dapat merugikan diri sendiri dan orang lain,” ujar Vera. Menurutnya, pihak kepolisian atau sekolah seharusnya mengantisipasi terjadinya tawuran di kalangan siswa SMP. Itu karena potensi adanya tawuran ternyata tidak hanya sekolah tingkat SMA/SMK.

“Mencegah tawuran dengan cara mengizinkan siswanya pulang jika dijemput orang tua/wali murid atau tidak memperolehkan mereka pulang dengan bergerombolan adalah cara yang sangat baik. Kondisi psikologi ketika mereka sendirian atau bergerombol tentu berbeda. Ketika bergerombol, mereka cenderung sangat mudah disulut emosinya,” tutur Vera.

Pihak sekolah juga bisa menyelenggarakan kegiatan positif usai UN, seperti pentas seni dan musik.

Wimbuh Rahayu, guru Bimbingan Konseling (BK) SMP Negeri 4 Gombong mengungkapkan, pihak sekolah biasanya memanggil siswa yang terlibat tawuran berikut orang tuanya untuk membuat surat pernyataan. Dalam surat pernyataan tersebut, mereka harus mengakui perbuatan salahnya, berjanji untuk tidak mengulangi, dan meminta maaf karena sudah mencemarkan nama sekolah.

“Sekolah bisa menahan hasil dan pengumuman kelulusan mereka jika mereka terlibat tawuran lagi,” ucap Wimbuh.

Sangat Disayangkan
Guru BK SMP Negeri 98 Jakarta, Rahmawati, menyayangkan kebijakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang melarang pengadaan acara usai UN, seperti pentas seni, jalan-jalan bersama, dan perpisahan.

Dinas Pendidikan DKI Jakarta khawatir adanya pengeluaran dan pungutan dari acara tersebut.
“Sangat disayangkan, tahun ini Dinas Pendidikan DKI Jakarta melarang pengadaan acara usai UN yang bertujuan menghibur dan melepas ketegangan para siswa kelas 9 pasca-UN,” ujarnya kepada SH.

Exit mobile version