Jakarta, 12 November 2025 — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa setiap bentuk tindakan yang melanggar batas interaksi dengan anak di ruang publik merupakan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan anak. Penegasan ini disampaikan menyusul kasus yang melibatkan pendakwah EY, yang menjadi perhatian publik setelah muncul video viral menunjukkan interaksi yang dianggap berlebihan terhadap anak-anak di atas panggung.
“Anak harus ditempatkan sebagai subjek yang memiliki martabat dan hak untuk dilindungi. Tidak ada pembenaran apa pun bagi tindakan yang melanggar batas, sekalipun dilakukan di ruang publik atau dalam konteks keagamaan. Tindakan yang menormalisasi perilaku tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip perlindungan anak,” ujar Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah.
KPAI menilai tindakan tersebut menyerang harkat dan martabat anak sebagai individu yang memiliki hak asasi, serta melanggar sejumlah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kasus ini sekaligus menjadi pengingat penting bahwa ruang publik, termasuk ruang keagamaan, harus menjadi ruang yang aman dan ramah bagi anak.
“KPAI mendorong agar seluruh pihak, khususnya para tokoh agama dan publik figur, memahami batas interaksi dengan anak dan meneladankan perilaku yang menjunjung prinsip perlindungan anak. Dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial seharusnya menjadi ruang yang memperkuat martabat anak, bukan sebaliknya,” tambah Anggota KPAI, Dian Sasmita.
Konteks Kasus Viral yang Dilaporkan ke KPAI
Kasus yang melibatkan pendakwah EY mendapat sorotan luas setelah beredarnya potongan video yang menampilkan interaksi berlebihan dengan anak-anak perempuan di atas panggung, seperti mencium, memeluk, dan menggigit pipi (kokop). Dalam video tersebut juga terdengar beberapa ucapan yang dianggap tidak pantas seperti: “Mau dicium nggak? Kamu kok nolak? Tidak semua bisa lho.” “Dicium Gus, senang nggak?” Perilaku tersebut dilakukan berulang di depan publik dan disebarluaskan di media sosial, sehingga banyak audiens dewasa maupun anak yang terpapar contoh interaksi yang keliru.
Pandangan Beberapa Pihak terhadap Tindakan Penceramah
Sejumlah pihak telah menyampaikan pandangan mereka:
- Pemerintah, melalui Wakil Menteri Agama, secara terbuka menyatakan bahwa tindakan mencium anak perempuan tersebut “tidak pantas” dilakukan oleh tokoh publik.
- Lembaga Keagamaan, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menilai perilaku tersebut “tidak mencerminkan akhlakul karimah” dan bertentangan dengan ajaran Islam, menegaskan tidak ada ruang bagi pelecehan atau penyalahgunaan otoritas dalam kegiatan dakwah.
Analisis Yuridis dan Landasan Hukum
KPAI menegaskan bahwa tindakan seperti yang dilakukan oleh EY telah melanggar berbagai ketentuan hukum dan prinsip hak anak di Indonesia, di antaranya:
- Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 28B ayat (2):
Negara mengakui hak anak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. - Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
Pasal 4 menegaskan bahwa setiap anak berhak hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan seksual. - Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:
Tindakan ini berpotensi dijerat Pasal 76E, yang melarang setiap orang melakukan kekerasan, memaksa, atau melakukan perbuatan cabul (indecent act) terhadap anak.
KPAI juga mendorong agar penafsiran perbuatan cabul diperluas mencakup tindakan yang melanggar batas sosial dan hukum, tanpa mempertimbangkan klaim “niat baik” dari pelaku. - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS):
Pasal 4 ayat (1) mengatur sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan nonfisik.
Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak psikologis yang destruktif dan mempengaruhi kehidupan anak di masa depan, seperti menimbulkan kecemasan, menurunkan kepercayaan diri anak, hingga mempengaruhi tumbuh kembang anak. Situasi ini dapat merusak perkembangan mental dan fisik anak, bahkan dalam kondisi tertentu dapat meningkatkan kerentanan anak terhadap perilaku negatif di masa depan.
Respon dan Langkah KPAI
Sebagai lembaga negara independen yang mengawasi pelaksanaan perlindungan anak, KPAI telah mengambil langkah-langkah berikut:
- Melakukan telaah kasus dan mengidentifikasi potensi pelanggaran hak anak;
- Melaporkan kepada pihak berwenang atas indikasi pelanggaran hak anak;
- Berkoordinasi multipihak untuk memastikan anak-anak terdampak mendapatkan dukungan pemulihan dan perlindungan dari lembaga layanan;
- Menguatkan edukasi publik tentang:
- Perlindungan anak dari segala bentuk kejahatan seksual serta dampaknya terhadap anak;
- Edukasi kepada orang dewasa tentang batasan interaksi dengan anak seperti sentuhan aman / tidak aman.
- Literasi digital tentang perlindungan data dan identitas anak.
- Mengimbau publik untuk tidak menormalisasi perilaku melanggar batas terhadap anak dan mengedepankan etika keselamatan anak dalam setiap interaksi;
- Mendorong Kementerian Agama untuk melakukan pembinaan kepada para penceramah agar aktivitas dakwah menjunjung tinggi prinsip perlindungan anak.
“Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Anak-anak berhak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, bebas dari pelecehan, intimidasi, dan eksploitasi dalam bentuk apa pun,” tutup Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah. (Ed:Kn)












































