KPAI Temukan Praktek Jual Beli Kursi pada PPDB 2019

POSKO pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam pelaksanaan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran baru 2019 menemukan sejumlah pelanggaran diantaranya temuan adanya praktek jual beli kursi.

Hal tersebut dikemukakan Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti pada Rapat Kerja Nasional (Rakornas) tentang Evaluasi Pelaksanaan Zonasi PPDB di Jakarta, Kamis. Menurut dia, dari 95 pengaduan yang diterima posko pengaduan KPAI yang berasal dari 10 provinsi dan 33 kabupaten dan kota, KPAI kemudian memilah dan mengkategorikan jenis pengaduan.

Pertama dugaan kecurangan sebanyak 23 pengaduan, kedua, sekolah negeri minim dan tidak merata sebanyak 17 pengaduan, ketiga siswa tidak diterima meski jarak rumah dengan sekolah relative sangat dekat, ke empat menggunakan seleksi PPDB dengan Nilai UN sebanyak 14 pengaduan, kelima siswa tidak diterima meski berprestasi karena jarak rumah jauh dari sekolah, keenam masalah domisili dan Kartu Keluarga dan lain-lain tentang kurangnya sosialisasi sehingga ada yang menolak zonasi.

Retno mengemukakan adanya dugaan kecurangan sebanyak 23 pengaduan pada PPDB tahun 2019, KPAI mendorong pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk pembinaan dan pengawasan internal, seperti inspektorat memeriksa pihak yang diadukan, sehingga dapat dicarikan solusi agar kedepan kasus yang sama dapat dicegah atau tidak terulang kembali. Dikatakan 23 pengaduan ini bentuknya dalam praktek jual beli kursi yang diakui pihak dinas pendidikan terdapat unsur percaloan.

“Para perantara atau calo ini jika masuk ranah pidana harusnya dapat ditangkap. KPAI tentu tidak dapat menyelesaikan hal ini karena bukan ranah kami. Jadi harus ada keterlibatan Inspektorat kementerian terkait apakah dinas pendidikan, kementerian dan pihak terkait lainnya,” cetus Retno.

Dikatakannya, temuan posko KPAI mencatat Provinsi Banten paling tinggi beserta wilayah Sumatera terkait kecurangan jual beli kursi. “Jual beli atau pungli ini sebenarnya mereka orang tua atau siswa ditawarkan. Ada yang mau dan ada yang tidak. Penawaran itu angkanya mencapai Rp6-Rp20 juta,” ungkap Retno.

Posko pengaduan KPAI juga menerima pengadu unik yang menyampaikan keluh kesah melalui email yang berujung menolak PPDB sistem zonasi karena dianggapnya tidak berkeadilan, istilah kelompok ini adalah “Seleksi pakai meteran bukan kecerdasan akademik.”

Dari total 95 pengaduan tersebut, Retno menambahkan hanya 9.5% yang menolak sistem zonasi. 91.5% pengadu mendukung sistem zonasi, namun dengan berbagai catatan. Mayoritas pengadu menyayangkan penerapan 90% zonasi murni dalam Permendikbud No. 51/2019, sementara jumlah sekolah negeri belum merata penyebarannya.

Lebih lanjut dia menjelaskan KPAI juga menerima pengaduan terkait masalah-masalah teknis, misalnya server yang down sementara, sistem PPDB yang ditutup sementara, dan juga nama anak pengadu terlempar ke sekolah yang sangat jauh yang jaraknya mencapai 32 kilometer, Padahal masalah teknis semacam ini seharusnya langsung diadukan ke dinas pendidikan setempat. “Mengadu ke KPAI untuk urusan teknis menunjukkan bahwa sosialisasi ke orangtua pendaftar masih minim,” pungkasnya.

Kendati masih ditemukan adanya kekurangan serta pelanggaran dalam zonasi PPDB, Retno mengutarakan KPAI mengapresiasi pemerintah terkait kebijakan PPDB sistem Zonasi, karena tujuan dari sistem zonasi untuk memberi layanan akses yang berkeadilan bagi masyarakat, upaya pemerataan mutu pada semua satuan pendidikan, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun, pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada zonasi siswa, namun harus disertai zonasi pendidikan, termasuk zonasi guru. (OL-4)

Exit mobile version