KPAI: TV Harus Dibenahi

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi dunia pertelevisian Indonesia. Pasalnya, ada beberapa hal terkait dunia pertelevisian yang harus segera diperbaiki.

“Pembenahan mendesak yang perlu dilakukan pertama-tama adalah dalam hal pemberitaan,” kata Susanto kepada SH, mengomentari peringatan Hari Pertelevisian Nasional (HPN), yang akan berlangsung, besok, Minggu (24/8).

Menurutnya, saat ini belum semua pemberitaan media televisi (TV) memenuhi asas fairness atau keadilan dan keterbukaan kepada masyarakat. Pemberitaan media TV juga tidak sehat untuk ditonton masyarakat. “Lihat saja berita politik selama pemilihan umum dan pemilihan presiden,” kata Susanto.

Kenyataan berikutnya, menurutnya, TV saat ini belum dapat menjadi alternatif pendidikan terbaik bagi keluarga. Pasalnya, pemberitaan, hiburan, sinetron, yang disajikan TV selama ini justru lebih banyak yang kontraproduktif ketimbang yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Konten hiburan di TV yang bernuansa pembentukan karakter anak saat ini menurutnya juga sangat minim.

“Akibatnya, TV saat ini tidak dapat menjadi media pendidikan bagi keluarga, termasuk bagi anak-anak,” keluh Susanto.

Ia menjelaskan, menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, TV merupakan salah satu media pendidikan publik. Namun, faktanya TV saat ini justru menampilkan hal-hal yang berbeda.

Pasalnya, menurut Susanto, spirit bisnis lebih menonjol ketimbang fungsi informasi dan edukasi masyarakat. Kondisi tersebut, menurutnya menjadi pertanda bahwa TV perlu dikembalikan pada jati dirinya, yakni sebagai media publik yang berorientasi pada pemberian informasi, hiburan, dan edukasi.

Kepentingan Anak
Deputy Representative United Nations Children’s Fund (UNICEF), Marc Lucet beberapa waktu lalu mengatakan, liputan media massa, termasuk media televisi tentang kasus kekerasan seksual kepada anak di TV, harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. TV harus turut melindungi anak, baik sebagai pelaku maupun korban. “Dalam pemberitaan, media harus memastikan harga diri dan integritas anak terlindungi,” kata kata Marc kepada SH.

Ia menekankan identitas anak, baik sebagai pelaku maupun korban, jangan pernah ditunjukkan dalam pemberitaan TV. Pasalnya, saat membuka identitas anak, hal itu berarti media sedang mengekspose anak dan keluarganya. Perbuatan tersebut menurut Marc sangat berbahaya karena akan mencederai masa depan anak.

“Media seharusnya justru memanfaatkan peran pentingnya membantu masyarakat, untuk membuka persoalan kejahatan seksual agar tidak lagi tabu dibicarakan, bukan membahayakan anak,” kata Marc.

Menurutnya, pemahaman pemimpin media akan Konvensi Hak Anak menjadi kunci menghasilkan pemberitaan yang mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Ia mengatakan jurnalis Indonesia selama ini telah melakukan peliputan yang baik, namun ia menolak menyebutkan apakah media di negeri ini telah mempertimbangkan kepentingan terbaik anak dalam setiap pemberitaannya.

“Pemahaman akan Konvensi Hak Anak menjadi kunci menghasilkan pemberitaan yang mempertimbangkan kepentingan terbaik anak,” pungkas Marc.

Exit mobile version