KPAI : Vonis Kasus JIS Terobosan di Kasus Pelecehan Anak

Kalangan pemerhati pendidikan dan pelindung anak-anak bernapas lega. Setelah melalui rangkaian panjang, akhirnya kasus kekerasan seksual dengan terdakwa dua guru Jakarta International School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong sampai pada tahap vonis. Keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan pada Kamis (2/4).

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai dalam rilisnya Jumat (3/4), putusan itu hendaknya menjadi peringatan bagi para pelaku lain untuk tidak berani-berani memikirkan, apalagi sampai melakukan, kekerasan seksual terhadap anak. ”Kekerasan kepada anak akan sangat berdampak bagi masa depan anak yang menjadi korban dan di Indonesia ada hukuman keras bagi pelakunya,” tandas Haris.

Selanjutnya, Haris mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang diketuai Nur Aslam Bustaman, yang telah menjatuhkan putusan sepuluh tahun penjara. ”Majelis hakim mampu menjalankan perannya dan tidak mudah diintervensi kekuatan mana pun dalam menyidangkan kasus ini,” katanya.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menambahkan, majelis hakim sudah melakukan terobosan dengan digunakannya model telekonferensi dalam mendengarkan kesaksian saksi korban anak. Dengan demikian, saksi korban anak bisa memberikan keterangan tanpa harus takut bertemu muka dengan para terdakwa. ”Model telekonferensi menjadi sumbangan alat bukti untuk memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutuskan kasus ini,” ucap Edwin.

Apresiasi ke majelis hakim juga datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI Asrorun Ni’am menilai putusan tersebut menunjukkan adanya keadilan bagi anak-anak Indonesia. ”Hakim telah menunjukkan independensinya dalam memberikan putusan,” tegasnya di Jakarta kemarin.

Asrorun melanjutkan, vonis itu sekaligus memperlihatkan benar adanya tindak kejahatan seksual di JIS yang melibatkan pendidik. Karena itu, dia mengharapkan semua pihak meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak di mana pun berada. Tak terkecuali di sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak. ”Vonis ini harus menjadi trigger bagi seluruh pihak untuk lebih waspada,” tuturnya. Termasuk, lanjut dia, pihak kementerian terkait untuk lebih memperhatikan masalah kejahatan seksual terhadap anak di sekolah.

Menurut Asrorun, ada dua kementerian yang harus segera bertindak. Yang pertama adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kementerian pimpinan Anies Baswedan itu diminta segera melakukan audit pada seluruh sekolah internasional di Indonesia. ”Fakta dari vonis tidak bisa diabaikan. Ada dua guru yang melakukan tindak kejahatan seksual di sekolah bertaraf internasional,” urainya.

Selanjutnya adalah Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Asrorun menyatakan, Kemenaker juga memiliki peran penting untuk mencegah munculnya kejadian serupa. Kementerian pimpinan Hanif Dhakiri itu harus menyeleksi dengan ketat pemberian izin kerja kepada para ekspatriat yang ingin mencari rezeki di Indonesia. ”Masalah moral dan kompetensi profesional mereka harus masuk dalam syarat pemberian izin,” tegasnya.

Putusan PN Jakarta Selatan direspons negatif pemerintah Amerika Serikat (AS). Duta Besar (Dubes) AS untuk Indonesia Robert Blake mengatakan, sampai saat ini banyak keraguan yang muncul di publik terkait proses penyelidikan. ”Mencuat juga pertanyaan tentang kurangnya bukti kredibel dalam tuduhan kepada para guru ini. Karena itu, kami sangat kecewa dengan putusan ini,” ungkapnya dalam pernyataan resmi kemarin.

Saat ini, lanjut Robert, komunitas internasional secara luas juga terus mengikuti kasus tersebut. Maka, hasil putusan terhadap proses hukum itu bakal mencerminkan aturan hukum di Indonesia. ”Ini akan sangat berpengaruh terhadap reputasi Indonesia di luar negeri,” tuturnya.

Menanggapi protes Dubes AS di Indonesia, pakar hubungan internasional (HI) Teuku Rezasyah mengatakan, yang dilakukan Robert Blake bisa dikategorikan ofensif dan mengancam. Pasalnya, kasus tersebut sebenarnya tak berkaitan langsung dengan warga negara AS.

Neil Bantleman adalah warga Kanada dan Inggris, sedangkan Ferdinand Tjiong WNI. ”Saya rasa Robert Blake harus lebih berhati-hati dalam berpendapat. Pernyataan itu jelas seperti menghakimi proses pengadilan hukum di Indonesia. Jangan sampai dia menjadi persona non grata (sosok yang tak disambut baik sebuah negara, Red),” ingatnya.

Reza –sapaan akrab Teuku Rezasyah– pun berharap Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) merespons pendapat tersebut, misalnya dengan mengeluarkan nota protes. ”Atau setidaknya memanggil Robert sehingga keadaan jelas,” tegasnya.

Exit mobile version