Jakarta, – Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap perlindungan anak menjadi sebuah ancaman dalam penyelenggaraan perlindungan anak, sehingga masih terdapat mediasi yang tidak terlaksana dan tidak sepakat, maka diperlukan sosialisasi maupun kampanye publik untuk mendorong perubahan budaya dan pola pikir masyarakat mengenai hak dasar anak.
“Sosialisasi maupun kampanye publik dapat dilakukan dalam bentuk bahasa daerah di wilayah-wilayah yang tingkat perkawinan anak dan pelanggaran hak anaknya tinggi, hal ini tentu akan memudahkan masyarakat dalam memahami penyelenggaraan perlindungan anak,” tutur Sylvana Maria Apituley selaku Anggota KPAI sekaligus Pengampu Sub Komisi Mediasi saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) Pedoman Mediasi Berbasis Hak Anak bersama dengan stakeholder terkait, di Jakarta, pada Selasa (01/10/2024).
Layanan mediasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak hanya terbatas pada penyelesaian konflik, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat komitmen semua pihak dalam melindungi hak-hak anak di masa yang akan datang, serta mencari solusi dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Layanan mediasi harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik di tingkat pusat, daerah, maupun lembaga masyarakat. Hal ini mengingat tingginya jumlah kasus yang dilayani dan terbatasnya layanan mediasi di tingkat lokal.
“Mediasi dalam perlindungan anak harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, non-diskriminasi, serta penghormatan terhadap pendapat anak,” tegas Sylvana Maria.
Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang harus dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli yang dalam prosesnya dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pra-mediasi, mediasi, serta pasca mediasi.
Prabianto Mukti Wibowo Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang hadir sebagai narasumber dalam FGD tersebut menekankan bahwa layanan mediasi menjadi salah satu proses penanganan perkara pelanggaran HAM yang mudah, murah, cepat, serta menghasilkan kesepakatan yang sifatnya konkret. Kesukarelaan para pihak yang bersengketa dan kesepakatan perdamaian tentunya menjadi wujud dari perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, lanjutnya.
Sementara itu, narasumber kedua, Atwirlany Ritonga selaku Plt. Asdep bidang pelayanan Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menegaskan pentingnya dalam mediasi kasus-kasus terhadap anak, mediator harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak agar bisa terwujud dan terpenuhinya hak anak.
“Hasil dari FGD ini tentunya akan segera ditindaklanjuti melalui kerjasama dengan Komnas HAM dan lembaga masyarakat, serta merumuskan pedoman mengenai mediasi berbasis hak anak,” tutup Sylvana. (Rv/Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727