Kejahatan seksual pada anak kian meresahkan. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, menyebut kasus Jakarta International School (JIS) dan Emon, hanya puncak gunung es.
Faktanya, kasus yang dilaporkan pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meningkat dari tahun ke tahun. Hingga pertengahan April tahun ini, sudah ada 459 kasus kekerasan seksual anak.
Yang ironis, anak kini bukan hanya menjadi korban. Jika tak ditangani dengan cepat, ia juga bisa menjadi pelaku. Data KPAI menyebut, per bulan ada 15 anak yang menjadi pelaku kejahatan seksual.
Situasi itu darurat. Karenanya, pada 11 Juni lalu dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak.
Peraturan itu menginstruksikan 15 lembaga terkait untuk mencegah dan memberantas kejahatan seksual anak di Indonesia. Senin, 7 Juli 2014 di Hotel Mandarin, Jakarta aturan itu disosialisasikan.
“Gerakan itu meliputi edukasi dan sosialisasi, pengawasan, dan respons cepat dari penegak hukum,” Linda Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menerangkan.
Adapun lembaga yang termaktub dalam aturan itu, adalah 13 kementerian, Kepolisian Indonesia, dan Kejaksaan Agung. Kementerian PP dan PA pun sudah punya langkah untuk ikut andil.
Kota layak anak
Linda melanjutkan, salah satu langkah konkret lembaganya adalah mewujudkan kabupaten atau kota layak anak. Menurut dia, saat ini belum ada satu pun wilayah di Indonesia yang ramah anak.
Berdasarkan kesepakatan PBB, setidaknya butuh 31 indikator untuk menyebut sebuah daerah menjadi layak anak. Butuh ketegasan dari eksekutif, legislatif, yudikatif, juga masyarakatnya.
“Bagaimana tempat itu aman dan nyaman, ada kawasan tanpa rokok, pelayanan kesehatan juga,” ujar Linda. Sudah ada lebih dari 180 kota di dunia yang disepakati sebagai layak anak.
Di Indonesia, baru berupaya menuju ke sana. Yang sudah cukup baik, menurut Linda, seperti Denpasar, Surabaya, Bandung, dan Solo. “Bisa dilihat bagaimana mereka mengelola kota,” ucapnya.