Jakarta – Anak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) seakan tidak berkurang secara signifikan, hal tersebut terungkap dari hasil investigasi media KOMPAS tentang praktik prostitusi yang melibatkan anak di beberapa kawasan DKI Jakarta dan Jawa Barat yang merupakan kejahatan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Hasil investigasi KOMPAS sejak awal Januari hingga Februari telah mengungkapkan sejumlah anak yang diperdagangkan dan dipaksa menjadi pekerja seksual komersial, anak-anak tersebut terperangkap jaringan perdagangan manusia dengan berbagai tipu daya dari pelaku. Hal ini menunjukkan belum tuntasnya pemberantasan jaringan pelaku perdagangan orang, sehingga kasus tersebut akhirnya terus berulang.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengikuti Rapat Koordinasi Teknis yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama para pihak terkait melalui daring, pada Jumat (10/03/2023).
Rapat koordinasi tersebut, sebagai tindak lanjut untuk melakukan upaya dan langkah nyata dalam menuntaskan kasus TPPO yang berkaitan dengan anak. Salah satu upaya tersebut adalah korban membutuhkan perlindungan dari stigma di lingkungan sosial maupun sekolah, karena tidak sedikit korban yang trauma hingga putus sekolah atas stigma tersebut.
Data pengaduan KPAI 2021 menyebutkan bahwa Anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual 147 kasus, Anak Korban Penculikan, Penjualan dan/atau Perdagangan 28 Kasus. Sementara data 2022 sebanyak 85 kasus Anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dan 51 kasus Anak Korban Penculikan, Penjualan dan/atau Perdagangan.
“Bukan hanya dari aspek ekonomi yang mengakibatkan situasi prostitusi pada anak menjadi naik, tetapi banyak aspek lain yang mengakibatkan anak menjadi korban TPPO, seperti pola asuh keluarga yang lemah. Maka, pola asuh dalam konteks keluarga perlu diperkuat dan diperlukan adanya aspek edukasi sebagai upaya untuk mencegah agar anak tidak terjerumus, karena ada juga korban yang berasal dari keluarga mampu” ucap Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, saat mengikuti rapat koordinasi teknis.
Untuk itu, perlu upaya pencegahan untuk memutus rantai perdagangan anak tersebut. Karena temuan ini menjadi catatan penting bagi seluruh stakeholder untuk menindaklanjuti dan merekomendasi penanganan dalam kasus tersebut.
“Kasus ini menjadi catatan yang penting untuk ditindaklanjuti bagi seluruh pihak, sehingga diperlukan langkah-langkah ke depan yang lebih sistemik dalam penanganan kasus TPPO pada anak,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar.
Selama ini, pendampingan hukum dan psikologis terhadap anak korban TPPO selalu dilakukan, tetapi selalu ada hambatan dalam proses penanganan rehabilitasi korban. Terutama tidak adanya restu dari orang tua korban yang tidak menginginkan anaknya direhabilitasi, sehingga sulit dalam proses pemulihan psikologis korban.
Korban sulit untuk memahami kondisi yang terjadi, sehingga saat pengembalian kepada orang tuanya, anak akan kembali menjadi korban TPPO. Maka dalam kasus ini perlu dilakukan reintegrasi maupun monitoring saat melakukan pengembaliaan korban dan perlu dilakukan evaluasi.
“Skema rehabilitasi dan integrasi harus melibatkan seluruh pihak untuk lebih menguatkan, karena masih ada persoalan yang berkaitan dengan TPPO dan tentunya persoalan tersebut menjadi celah bagi para pelaku dalam mencari korban,” kata Nahar.
Sejauh ini, TPPO menjadi kedok pelaku untuk melakukan kekerasan seksual terhadap korban dan tidak sedikit korban yang pernah mengalami kekerasan seksual. Maka rehabilitasi sosial berbasis institusi menjadi salah satu skema antar layanan dalam melakukan pengawasan, perlindungan, pencegahan, hingga pemulihan terhadap korban.
Dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Kemko Polhukam RI), Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, disingkat Kemenko PMK RI, POLRI, Kemen PPPA, Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), para kepala daerah agar serius menjalankan komitmen yuridis dan politis penyelenggara negara dalam menjalankan mandat untuk melindungi anak dan menentang TPPO.
Selain itu, pencegahan berkesinambungan di keluarga, dunia pendidikan, relasi sosial masyarakat dan mainstreaming isu perlindungan anak serta diharapkan agar media digital dapat menutup rapat tindakan eksploitasi anak. Penting juga agar mengoptimalisasi dunia usaha untuk memastikan tidak melibatkan anak dalam berbagai pekerjaan terutama yang rentan pada perlindungan anak.
“Perlu dipastikan Law inforcement di area asal, transit dan tujuan terjadinya TPPO serta pemulihan anak korban berbasis pemenuhan hak dan perlindungan anak,” tutup Ai Maryati. (Rv/Ed:Kn/Ep)
Humas KPAI – 081380890405