Menanamkan pesan kebencian pada anak adalah bentuk baru ‘tentara anak’

JAKARTA – Selama sepekan terakhir, media sosial memuat beberapa pesan radikalisme dan kebencian yang tampak diutarakan anak-anak.

Ada video anak-anak berseragam sekolah dasar yang membela bendera kelompok yang menyebut diri Negara Islam (ISIS) dan ada pula video yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta. Dalam video terkait Pilkada Jakarta, seorang bocah mempertanyakan mengapa Presiden Joko Widodo membiarkan bebas Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama.

Soal pilkada DKI Jakarta, seorang ibu yang tinggal di Bekasi punya cerita.

“Pulang sekolah anak saya bertanya, ‘Bu, ada apa sih sama Ahok?’. ‘Memang kenapa?’, tanya saya. Anak saya menceritakan bahwa guru-gurunya di sekolah membenci Ahok. ‘Mereka bilang, Ahok sudah menistakan agama’,” tutur Cisya, ibu berusia 41 tahun, kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Cerita sang anak tak berhenti di situ. Dia mengisahkan bagaimana teman-temannya di sekolah sering menyanyikan lagu ‘Gantung si Ahok’ yang sering dikumandangkan saat demonstrasi menentang Basuki Tjahaya Purnama.

Kisah Cisya mirip dengan cerita seseorang yang mengunggah pengalaman anaknya di blog. Sang anak, yag masih duduk di bangku sekolah dasar, mendapat surat yang menyebut dirinya kafir karena pengirim surat menilainya mendukung Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

Serdadu anak

Kemunculan video anak-anak yang tampak menyampaikan pesan kebencian merupakan tanggung jawab orang dewasa, kata Profesor Irwanto selaku peneliti dari Pusat Kajian Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia.

“Ketika anak diajarkan untuk membenci orang lain, memusuhi orang lain, melukai orang lain, ini disebut kekejaman karena Anda melakukan sesuatu yang bukan secara natural kaidah anak. Siapapun yang melakukan itu adalah pelaku kekejian paling luar biasa,” kata Irwanto.

Menurutnya, tindakan orang dewasa dalam mengedepankan anak untuk menyampaikan pesan kebencian sama saja dengan menjadikan anak tersebut sebagai serdadu anak.

“Kalau ini dimaknai oleh pembuat video ini sebagai medan pertempuran, maka ini adalah bentuk baru child soldier. Karena mereka menaruh anak-anak di garis depan untuk mempengaruhi anak-anak lain dan mengelabui orang dewasa seolah-olah anak-anak tahu apa yang diperbuat,” tambahnya.

Profesor Irwanto menegaskan anak-anak tersebut bukan pelaku, melainkan korban.

Lagi pula, Indonesia sebagai negara penandatangan Konvensi Hak-Hak Anak memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak yang menyebut bahwa usia anak yang bisa dimintai pertanggung jawaban pidana adalah 12 tahun.

Adapun anak-anak yang muncul di video-video itu diperkirakan berusia kurang dari 12 tahun. BBC Indonesia berusaha menghubungi kepolisian untuk menanyakan langkah apa yang bisa diambil dalam kasus ini, namun panggilan telepon ke beberapa pejabat tidak ditanggapi.

Temuan KPAI

Berdasarkan laporan Tahunan KPAI pada 2015 dan 2016, kasus anak yang terpapar terorisme meningkat dari 180 kasus menjadi 256 kasus.

Untuk menangani mereka, ada pendekatan tersendiri, sebagaimana dipaparkan Asrorun Niam, ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

“KPAI bersama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melakukan penanganan dengan pendekatan re-edukasi terhadap anak yang terpapar aliran radikal, yang bersumber dari guru dan jaringan media digital,” kata Asrorun.

Tentang radikalisme dan terorisme, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan 42% kasus anak yang terpapar terorisme dari 2015 ke 2016. Jumlahnya mencapai 180 kasus pada 2015 dan meningkat menjadi 256 kasus pada 2016.

Exit mobile version