Mendagri Bolehkan Kampanye di Sekolah dan Pesantren, Ini Respons KPAI

JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai sekolah dan pesantren boleh menjadi tempat kampanye bagi para kandidat yang berkompetisi di Pemilu 2019. Menurut dia, kampanye di lingkungan institusi pendidikan itu sah-sah saja sepanjang tidak menggunakan anggaran daerah dan mengajak aparatur sipil negara (ASN).

Menyikapi hal itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan pernyataan Tjahjo yang mengizinkan capres atau cawapres melakukan kampanye di sekolah. Padahal, dalam Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dinyatakan, anak memiliki hak untuk dilindungi dari penyalahgunaan politik.

“Karena lembaga pendidikan sejatinya harus steril dari tempat kampanye baik dilakukan oleh timses (tim sukses), kandidat, maupun panitia pemilu,” ujar Komisioner KPAI Jasra Putra melalui siaran pers yang diterima iNews.id di Jakarta, Jumat (12/10/2018).

Dia menuturkan, aturan itu juga sejalan dengan Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang memiliki pesan sama untuk perlindungan anak dalam larangan lembaga pendidikan dipakai untuk kampanye. “Kami berharap penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) bisa menjalankan regulasi tersebut secara tegas, sehingga lembaga pendidikan bisa berjalan sesuai tujuanya yakni menciptakan anak-anak Indonesia yang memiliki keunggulan intelektual, emosial, dan spritual yang baik,” kata Jasra.

Tjahjo sebelumnya berdalih, dibolehkannya sekolah dan pesantren jadi tempat kampanye politik lantaran di lembaga pendidikan itu terdapat pemilih pemula (siswa atau santri berumur 17-18 tahun) yang membutuhkan informasi terkait visi dan misi kandidat. Namun, Jasra menilai alasan mendagri tersebut tetap tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, ada upaya atau cara lain yang bisa digunakan untuk menyampaikan informasi tentang kandidat kepada mereka, misalnya melalui pesan media sosial (medsos).

“Apalagi dari 87 juta anak Indonesia, hampir 30 persennya sudah bersentuhan dengan medsos atau media informasi lainya yang mudah dipahami oleh anak. Jadi, biarkanlah anak-anak kita melakukan kegiatan pendidikannya di sekolah dan mari kita lindungi mereka agar bisa tumbuh dan berkembang secara baik,” tuturnya.

Jasra mengatakan, jika sekiranya kampanye di sekolah dan pesantren dizinkan, maka tidak terbayangkan ketika 300.000 ribu calon anggota legislatif (caleg), calon anggota DPD, dan dua pasangan capres-cawapres melakukan kampanye di sekolah. Tentunya sekolah bakal menjadi sasaran empuk untuk dijejali dengan kampanye politik setiap hari.

“Kalau itu yang terjadi, pertanyaanya, kapan anak mulai belajar? Kegiatan kampanye atau kedatangan kandidat pasti mengganggu jadwal pelajaran yang telah disusun secara baik oleh pihak sekolah,” ucapnya.

Berdasarkan hasil pengawasan KPAI pada Pemilu 2014, data penyalahgunaan anak dalam politik dan penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye oleh partai politik cukup tinggi. KPAI mengidentifikasi 15 bentuk jenis penyalahgunaan anak dalam politik dan 285 pelanggaran hak anak oleh partai politik waktu itu.

Selanjutnya, pada Pilkada 2017, lembaga itu juga menemukan 36 bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh calon kepala daerah, tim sukses, dan pendukung kandidat. Potensi memakai fasilitas pendidikan (sekolah) sebagai alat kampanye berada di urutan kedua dalam daftar penyalahgunaan anak di Pemilu 2014 dan Pilkada 2017.

“Ketika kampanye di sekolah dilarang saja, masih terjadi tindakan oknum guru salah satu SMA di Jakarta yang diduga mendoktrin muridnya untuk membenci salah satu capres. Apalagi jika diizinkan, maka fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan akan terganggu dan bahkan lembaga pendidikan bisa dipolitisasi oleh timses, kandidat dan pendukung, sehingga membuat suasana sekolah kehilangan tujuan utamanya dan tidak kondusif dengan tarikan berbagai kepentingan yang datang setiap saat,” ungkap Jasra.

Exit mobile version