Mengapa Politikus Bebal Libatkan Anak-anak dalam Kampanye?

JAKARTA Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 6 pengaduan kasus dugaan pelibatan anak dalam kegiatan politik sejak masa kampanye dimulai 23 September 2018. Jumlah aduan ini berpotensi bertambah mengingat masa kampanye masih berlangsung hingga 13 April 2019.

Komisioner KPAI Jasra Patra menuturkan, 6 kasus yang dilaporkan melibatkan dua kubu yang sedang bertarung di Pilpres 2019, yakni capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kasus-kasus ini sebagian sudah ditangani, sebagian lainnya dalam proses verifikasi.

Beberapa kasus yang ditangani KPAI, antara lain: perkara video anak berpakaian pramuka yang berteriak ganti presiden, rekaman demo aksi bela tauhid yang melibatkan anak dan menyerukan seruan ganti presiden, kampanye emak-emak minum susu yang dilakukan Prabowo dan tim, dukungan 20 pesantren di Banten ke Jokowi, kasus dugaan intimidasi guru di SMA 87 Jakarta, dan perkara gambar anak memegang foto Jokowi dipenuhi coretan.

“Itu kami proses dan sebagian kami sampaikan ke Bawaslu, dan kami konfirmasi ke Mabes Polri,” kata Jasra kepada reporter Tirto, Senin (12/11/2018).

Jasra menyebut, anak-anak sebenarnya telah dilindungi agar tidak dilibatkan dalam kegiatan politik sesuai amanat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 15 beleid itu menyebut, anak-anak harus dilindungi dari penyalahgunaan politik.

Sayangnya, pemanfaatan dan pelibatan anak dalam kegiatan politik jelang pemilu 2019 masih marak. Jasra menyayangkan hal itu, karena lokasi kegiatan politik dianggap tak layak untuk menjadi tempat tumbuh kembang anak.

Menurut Jasra, bukan tanpa alasan anak-anak masih kerap dibawa orangtuanya ke arena kegiatan politik. Salah satu alasan klasik yang kerap digunakan orangtua, kata Jasra, adalah ketiadaan pengamanan bagi anak jika ditinggal bapak atau ibunya ke kegiatan kampanye politik.

“Ini alasan klasik. Padahal kami berharap orangtua silakan menyampaikan pendapat di publik, itu hak warga. Tapi anak-anak untuk tumbuh kembangnya silakan dititip ke rumah tetangga atau keluarga yang bisa dipercaya,” kata Jasra.

Hal senada diungkapkan Ketua KPAI Susanto. Ia bahkan mengatakan sebagian masyarakat yang paham larangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, justru bersikap tidak acuh ketika pelanggaran terjadi. Karena itu, ia berharap pengawas pemilu di lapangan lebih serius dalam mengawasi masalah ini.

“Makanya kami terus dorong para tenaga pengawas, baik di pusat dan daerah agar benar-benar maksimalkan pengawasannya,” kata Susanto. k

Indikator Penyalahgunaan Anak

Susanto menjelaskan, lembaganya tidak sembarangan menetapkan hal-hal yang boleh atau tidak dilakukan dengan melibatkan anak-anak di dalam suatu kegiatan. Dia menyebut, setidaknya ada 15 indikator penyalahgunaan anak yang dipedomani KPAI.

Beberapa kegiatan yang termasuk penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik adalah manipulasi anak di bawah usia 17 tahun dan belum menikah agar terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Selain itu, kata Susanto, adalah menggunakan tempat bermain, pendidikan, atau penitipan anak untuk kegiatan kampanye.

Kegiatan lain yang termasuk pelanggaran adalah memobilisasi massa anak untuk kampanye, menggunakan anak sebagai juru kampanye, serta menampilkan anak sebagai bintang utama di suatu iklan politik. Terakhir, kata dia, memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon tertentu, baik di dunia nyata maupun maya.

“Kami harap indikator-indikator ini dibagikan ke seluruh timses baik di pusat maupun daerah. Karena itu [penyalahgunaan anak] potensinya tinggi jika timses tak miliki kesepemahaman yang sama,” kata Susanto di kantornya.

Exit mobile version