Noda di Dunia Pendidikan

JAKARTA – Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi pendidik maupun peserta didik. Namun, sudah banyak kasus kekerasan seksual yang muncul di lingkungan pendidikan atau oknum yang lekat di dunia tersebut. Lalu, masih amankah dunia pendidikan tanah air?

Pada Oktober 2018, KPAI juga melakukan pengawasan terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru honorer di salah satu SDN di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Korbannya empat siswi yang masih berusia 9-10 tahun.

Diperkirakan, pelaku sudah melakukan aksi bejat itu beberapa tahun lamanya. Namun baru terungkap sekarang karena orang tua korban melapor ke pihak sekolah dan ke kepolisian setempat. Pelaku melakukan aksi bejatnya di kebun sekitar sekolah dan di ruang kelas saat jam istirahat berlangsung.

KPAI melakukan pengawasan langsung ke Langkat terkait kasus tersebut. Dan, meminta Pemerintah Kabupaten Langkat memfasilitasi rapat koordinasi dengan OPD (organisasi perangkat daerah) terkait.

Itu dilakukan untuk memastikan penanganan kasus dan memastikan hak-hak korban dipenuhi. Misalnya, rehabilitasi medis dan psikologis. Rapat koordinasi juga dihadiri Kanit PPA Polres Langkat dan tiga perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam rapat koordinasi tersebut, KPAI mendapat informasi bahwa pelaku dan keluarga korban, dengan difasilitasi kepala desa dan sekretaris desa, melakukan proses mediasi. Dengan salah satu poin yang tak lazim, yaitu pelaku diusir dari kampung tersebut dan tidak perlu menjalani proses hukum.

Itu berarti pelaku masih bebas dan bisa kembali melamar pekerjaan sebagai guru. Padahal, dengan begitu, sangat berpotensi ada korban anak yang lain. KPAI sangat mengecam surat perjanjian yang jelas melawan hukum tersebut.

Pada November 2018, KPAI mendapat laporan dari masyarakat soal kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan petugas satuan pengamanan (satpam) di salah satu SDN di Kota Pekanbaru, Kepulauan Riau. Kepala sekolah yang mendapat aduan dari orang tua siswa segera melakukan pembinaan terhadap pelaku dan memberikan surat peringatan pertama.

Orang tua korban merasa kecewa karena terduga pelaku hanya diberi surat peringatan oleh kepala sekolah, bukan sanksi pemecatan. Padahal, ketika pelaku masih tetap bekerja di sekolah tersebut, sangat mungkin jatuh korban anak yang lain.

Masih pada November 2018, KPAI juga terkejut atas kasus oknum guru PNS berinisial U yang sehari-hari mengajar mata pelajaran olahraga di suatu sekolah di Kota Sukabumi. Guru U diduga melakukan tindakan asusila terhadap sejumlah siswi pada Oktober lalu.

Dia melancarkan aksinya dengan mencium sampai memasukkan lidahnya ke mulut korban dengan dalih memberikan reward atas prestasi siswanya saat pelajaran. U yang sudah mengakui perbuatannya awalnya hanya diberi sanksi mutasi ke sekolah lain.

Menurut KPAI, sanksi itu tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Guru yang menjadi pelaku berpotensi kembali beraksi di tempat tugas yang baru. Artinya, anak yang lain akan sangat mungkin menjadi korban juga.

Untung, para orang tua korban memutuskan untuk melaporkan guru U kepada kepolisian. Kasus tersebut kemudian diproses secara hukum oleh Polresta Sukabumi dengan jumlah korban delapan anak yang semua perempuan.

Berdasar kasus-kasus tersebut, tergambar bahwa masih banyak pen­didik yang mendisiplinkan para siswanya dengan kekerasan. Disiplin memang harus ditegakkan. Namun, ketika hukuman bersifat merendahkan martabat anak didik, hal itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hukuman tersebut berpotensi melanggar UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 76C.

Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik sebagaimana dijamin dalam pasal 54 UU No 35 Tahun 2015: ”Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya”.

Dengan masih tingginya kasus kekerasan dalam dunia pendidikan, baik yang dilakukan sesama siswa maupun pendidik, KPAI menyampaikan beberapa rekomendasi. KPAI meminta Kemendikbud, Kemenag, dinas-dinas pendidikan, dan kantor-kantor wilayah Kemenag untuk mendorong percepatan sekolah ramah anak (SRA).

Hal itu sesuai dengan amanat dalam Instruksi Presiden No 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Mengingat saat ini jumlah SRA baru sekitar 11 ribu sekolah dan pesantren.

Jumlah tersebut dinilai sangat sedikit di antara seluruh jumlah sekolah dan pesantren yang mencapai 400 ribuan sekolah. Diharapkan, SRA bisa menurunkan drastis kekerasan di lingkungan sekolah.

Terkait terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah, KPAI mendorong para orang tua dan guru untuk mengedukasi anak-anak sedari dini tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Harus ditunjukkan kepada anak bagian tubuh yang tidak boleh disentuh siapa pun, kecuali dirinya sendiri.

Exit mobile version