Palembang, – Kasus kekerasan seksual yang berakibat pada kematian siswi SMP (AA) di Palembang dimana diduga pelakunya masih usia anak, disinyalir kemungkinan besar penyebabnya adalah paparan konten pornografi, hal ini diketahui berdasarkan bukti temuan video bermuatan pornografi di ponsel milik salah satu ABH IS.
Pelaku yang juga anak menjadi sinyal serius yang dapat berimbas pada kemungkinan terjadi pelanggaran hak anak. karena Anak Berhadapan dengan Hukum memiliki kerentanan- kerentanan, oleh karena itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam pengawasan kasus ini memberikan perhatian serius. KPAI juga menekankan pada pihak-pihak terkait untuk memastikan pemenuhan hak anak tidak terhambat, termasuk menemui keluarga korban dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) untuk memastikan hal tersebut.
“Dari hasil pertemuan dengan beberapa pihak, KPAI akan memastikan pemenuhan hak dan proses hukum berjalan sesuai dengan prosedurnya. Kami juga mendapatkan informasi bahwa faktor anak melakukan tindakan kriminalitas, karena terpapar konten pornografi dan minimnya pengawasan penggunaan gadget di lingkungan keluarga,” kata Dian Sasmita selaku Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster Anak Berhadapan dengan Hukum, saat melakukan pengawasan di Palembang, pada Selasa (10/09/2024).
Dian juga menyampaikan bahwa ABH mengakui pernah mengonsumsi konten pornografi, tetapi dalam situasi ini belum bisa dikatakan bahwa ABH masuk kategori kecanduan, karena harus ada telaah lebih lanjut dari ahli.
Kriminalitas yang dilakukan anak tidak pernah berdiri sendiri, sama halnya dalam kasus ini bahwa anak terpengaruhi perilakunya akibat terpapar konten pornografi. Paparan pornografi pada usia dini memiliki dampak serius pada perkembangan psikologis dan moral anak, sehingga pencegahan dan penanganan yang tepat sangat diperlukan untuk melindungi mereka dari bahaya tersebut. Pengasuhan efektif dalam keluarga dan pendidikan menjadi sangat penting dalam mendukung tumbuh kembang anak dan daya nalarnya.
Lebih lanjut, Dian menghimbau seluruh pihak untuk dapat berperan dalam menciptakan upaya-upaya pencegahan dan edukasi agar anak-anak tidak menjadi korban kekerasan dan tidak melakukan kekerasan.
“Pengawasan di lingkungan keluarga dalam penggunaan gadget anak-anak ini berkaitan terhadap fenomena kriminalitas dan media sosial menjadi salah satu faktor anak-anak melakukan tindakan kriminalitas,” ucap AKBP Andes Purwanti selaku Wakapolrestabes Palembang.
AKBP Andes juga menambahkan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum tentu akan dilakukan penegakan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, begitupun dengan ABH akan dilakukan penegakan sesuai undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
“Semua pihak tentu berharap proses hukum dalam kasus ini dapat berjalan dengan lancar, maka KPAI memastikan bahwa kasus ini harus berjalan sesuai prosedur di undang-undang SPPA dan memberikan keadilan terhadap keluarga korban, sehingga tidak ada lagi hak anak yang terabaikan atas keadilan,” tegas Dian.
Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak maupun ABH menjadi sebuah kekhawatiran bagi generasi selanjutnya, maka diperlukan peran semua pihak untuk dapat merespon maupun intervensi dalam pencegahan.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPAI mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat 356 kasus anak korban kejahatan seksual dan 48 kasus anak berhadapan dengan hukum, tentunya jumlah kasus tersebut hanyalah sebagian data yang terlapor ke KPAI.
“Koordinasi ini penting dalam melakukan sinkronisasi kolaborasi sinergi dan integrasi terhadap penanganan kasus yang melibatkan anak, karena dalam pemenuhan hak anak membutuhkan berbagai pihak termasuk juga media untuk sama-sama melakukan upaya pencegahan dan sosialisasi,” pungkas Fitriana selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Sumatera Selatan.
Sejalan dengan hal itu maka, KPAI berharap kepada masyarakat dan media agar tidak menyebarluaskan identitas anak, baik korban maupun ABH. Terlebih KPAI akan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk menindaklanjuti pihak-pihak terkait yang memanfaatkan situasi sebagai bahan promosi produk perusahaan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 64 huruf i menyatakan bahwa: “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui: penghindaran dari publikasi atas identitasnya.”
Anak yang terpapar pornografi tanpa mendapatkan pendidikan yang tepat tentang pentingnya persetujuan (konsen) dalam hubungan seksual mungkin tidak memahami pentingnya menghargai batasan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan mereka melakukan kekerasan seksual tanpa menyadari bahwa tindakan mereka salah.
Untuk itu, mari bersama-sama berperan dalam mencegah dan mengatasinya dengan memberikan edukasi seksual yang sehat, mengawasi dan membatasi akses anak ke konten dewasa atau tidak pantas di internet, dan jika seorang anak terpapar konten pornografi atau menunjukkan perilaku seksual yang tidak wajar, bantuan dari psikolog atau konselor bisa sangat penting untuk memberikan pemahaman yang benar dan mengatasi dampak negatifnya, tutup Dian. (Rv/Ed:Kn)
Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 0811 1002 7727