Pemda dinilai abaikan kewajiban fasilitasi pendidikan anak pelaku teror

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten atau kota mengabaikan tanggung jawab memfasilitasi pendidikan anak-anak pelaku tindak pidana terorisme.

Ketua KPAI, Susanto mengungkapkan fakta itu muncul di tengah fenomena diskriminasi dan terbatasnya lembaga pendidikan yang menampung anak pelaku teror.

“Atensi pemda terhadap kejahatan terorisme, terutama memberikan perlindungan terhadap anak masih lemah,” ujar Susanto di Jakarta, Jumat (03/11).

Susanto menuturkan, merujuk pengawasan yang dilakukan KPAI, tidak ada satu pun pemda yang bisa menjadi contoh pemberian fasilitas khusus bagi anak-anak pelaku teror.

“Belum ada best practice yang dilakukan pemda, terutama yang bisa menjadi model pemda lainnya. Sejauh ini upaya itu justru banyak dilakukan kelompok masyarakat sipil dan juga bergantung pada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” kata Susanto.

Berdasarkan pasal 59 dalam UU 25/2014 tentang Perlindungan Anak, selain pemerintah pusat, pemda juga wajib menganggarkan uang untuk anak-anak di jejaring terorisme.

Pasal 69B pada beleid itu menyatakan, terhadap anak-anak di jaringan terorisme, pemda wajib memberikan pendampingan dan rehabilitasi sosial. Konseling bahaya terorisme serta edukasi ideologi dan nilai nasionalisme merupakan dua kewajiban lainnya.

Akhir September lalu Pemerintah Kabupaten Bogor memutuskan menutup Pesantren Tahfidzul Quran Ibnu Mas’ud.

Pesantren itu, menurut Agus Purwoko, Ketua Yayasan Al Urwatul Usro yang mengelola Ibnu Mas’ud, didirikannya untuk menampung anak-anak yang mengalami stigma negatif karena ayah atau ibunya berurusan dengan hukum dalam kasus terorisme.

“Pesantren didirikan atas dasar kemanusiaan karena banyak anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Karena keterbatasan, pengajaran kami mengarah ke tafsir Alquran,” ujar Agus.

Namun bantahan Agus dan advokasi sejumlah kelompok masyarakat sipil tak mampu mencegah penutupan Ibnu Mas’ud.

Didemo masyarakat setempat sejak Agustus atas tuduhan menjadi sarang teroris, Ibnu Mas’ud akhirnya dilarang beraktivitas berdasarkan kesepakatan kepolisian, unsur militer, kejaksaan, dan Kementerian Agama.

Hatf Saiful Rasul, anak laki-laki berusia 13 tahun yang dinyatakan tewas sebagai militan ISIS di Suriah, pernah bersekolah di Ibnu Mas’ud selama tiga bulan. Pesantren itu juga dituduh berkaitan dengan 31 orang yang diduga terkait aktivitas teror.

Mira Kusumarini dari Civil Society Against Violent Extremism mengatakan, hambatan menghindarkan anak dari paparan paham terorisme bukan muncul dari keluarga semata, tapi juga masyarakat di tingkat akar rumput.

“Masyarakat belum menjadi bagian dari proses deradikalisasi itu sendiri, padahal setiap orang berkontribusi dalam isu ini,” kata dia.

Mira menuturkan, sekitar 50% dari 208 WNI yang pernah dideportasi ke Indonesia akibat kasus teror masuk kategori anak atau di bawah 18 tahun. Mira berkata, sebagian besar anak-anak itu tidak mengenyam pendidikan formal, melainkan home schooling yang bergantung pada orang tua.

“Dalam relasi sosial, mereka cenderung menarik diri dan hampir seluruhnya berkeinginan menjadi mujahid,” tutur Mira.

DPR saat ini tengah membahas draf perubahan UU 15/2003 tentang pemberantasan terorisme. Mira mendorong DPR menyeleraskan rancangan itu dengan UU 11/2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

Anak-anak yang dilibatkan orang tua mereka ke tindak pidana terorisme, kata Mira, harus ditangani dengan 10 asas pidana anak, antara lain pembinaan dan kelangsungan hidup atau tumbuh kembang anak.

Exit mobile version