PILKADA Diundur, 80 Anak Dorong Perbaiki Tahapan Pelibatan Anak Dalam Penyelenggaraan Pemilu

Jasra Putra Komisioner KPAI menyampaikan Undang-Undang 35 tahun 2014 perubahan pertama dari UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 15 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik”.

Selanjutnya di Pasal 76 H menyatakan “Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa, juncto Pasal 87 ancaman pidananya bahwa Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 100 juta.

Namun pada kenyataannya bentuk-bentuk penyalahgunaan anak dalam politik ekskalasinya meningkat, karena dorongan memenangkan pertarungan.

Sayangnya ada 4 anak meninggal di Pemilu kemarin. Ini membuktikan politik yang sudah membahayakan perlindungan jiwa anak seperti mempersenjatai anak, menghasut anak/ujaran kebencian, memanfatkan anak untuk memberikan money politik, kampanye terbuka membawa anak dibawah usia 17 tahun/balita, memobilisasi teman sebaya. Sudah seharusnya hukuman berjalan efektif, namun kenyataannya implementasi UU Perlindungan Anak dan UU Pemilu masih jauh menerapkan sanksi tegas kepada pelakunya.

Artinya, tidak ada sangsi pelibatan anak dalam penyalahgunaan pemilu, menyebabkan ‘harusnya’ ada tahapan yang lebih konkrit disiapkan penyelenggara pemilu untuk menyelamatkan 83 juta anak anak Indonesia.

Namun pelarangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, bukan untuk di pahami sebagai larangan berpolitik, karena itu hak anak. Yang dilarang adalah pelibatan dan penyalahgunaan anak dalam politik praktis dan saat masuk jadwal kampanye.

Untuk demontrasi juga merupakan hak anak, namun ada syaratnya dengan memperhatikan tempat, aman, nyaman karena kondisi kognitif atau pemahaman dan perkembangan emosional yang beragam dari setiap anak yang perlu perhatian lebih.

Peserta Diskusi Selasar
Heri Febridiansyah salah satu peserta diskusi Selasar menyampaikan pengalamannya saat mencoblos 2019. Untuk mencoblos Capres informasi sudah sangat banyak. Tetapi untuk DPR dan DPRD mereka bingung alias ‘asal coblos’.

Ketika ditanya admin zoom terus mencoblos siapa? Heri menjawabnya ‘yang kelihatan menarik saja’. Ia juga menjelaskan mendapatkan KTP sebulan sebelum pemilu di selenggarakan, sehingga diajak ikut mencoblos.

Lain lagi peserta diskusi Selasar dari Banca Aceh yaitu Chairani Zuhra AS, di Pemilu yang lalu, ia diajak orang tua pergi ke kampanye caleg, ia mendapatkan uang dan bingkisan sembako. Bagi orang tua, anak anak dapat membantu orang tuanya dengan alasan ekonomi. Ia juga melihat kehadirannya di banggakan caleg yang sedang kampanye saat itu. Meski ia tahu itu situasi yang salah.

Fadhil M Pradhana juga mengungkap waktu kampanye yang panjang di 2019, telah membekas pada anak anak. Pemilu terkesan menjadi ‘sangat kotor’.

Kenapa ‘sangat kotor’ pertama karena politik dianggap sesuatu yang abstrak yang jauh dari realita kehidupan masyarakat, kedua politik merupakan kegiatan elitis yang dilakukan elit politik dan kelompok elit dalam makna luas, ketiga perilaku politik elit dan kelompok elit yang dianggap buruk dan tidak memiliki sikap integratif dan keempat rendahnya pendidikan politik yang sistematis dan terstruktur. Hal ini dibalut dengan hoaks menjadi alat politik dan fanatisme berlebihan yang memperburuk situasi kampanye berkepanjangan.

Harusnya dampak tersebut dapat dikurangi dengan sinergi antara Forum Anak, Forum Anak Inklusif, Data Anak sebagai peserta pemilu dan anak masuk usia memilih sebelum usia 18 tahun yang dimiliki Mendagri. Tentu dengan dilaksanakan jauh jauh hari.

 

Sumber : https://kbai.co.id/

Exit mobile version