Jakarta, kpai.go.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dan dialog Pemenuhan Hak Restitusi Perlindungan Anak Korban Tindak Pidana kepada Aparat Penegak Hukum (APH), guna meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum terkait pemenuhan hak atas restitusi anak korban tindak pidana dalam perspektif perlindungan anak. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 14 sampai 15 Juni 2022.
Kegiatan tersebut diikuti oleh para penyidik Polres, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan Negeri se-Jawa Barat. Turut hadir narasumber yaitu Ai Maryati Solihah (Anggota KPAI), Livia Istania DF Iskandar (Wakil Ketua LPSK), dan FB Didiek Santosa (Perencana Ahli Madya Asdep PKA KPPPA). Kegiatan ini juga dihadiri Sesjen LPSK Noor Sidharta dan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Lies Sulistiani, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua LPSK dua periode, yaitu 2008-2013 dan 2013-2018.
Dalam paparannya, Anggota KPAI Ai Maryati mengatakan bahwa sistem perlindungan anak harus tegak berdiri dengan memikirkan kepentingan terbaik bagi anak, sebab akan menjadi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, aparat penegak hukum menjadi ujung tombak perlindungan masyarakat dalam proses hukum khususnya kasus-kasus anak korban tindak pidana. “Maka para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas berbangsa dan bernegara harus mengedepankan orientasi paradigma baru yang terus berkomitmen dalam melakukan penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak,” ujar Ai Maryati.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Lembaga Negara Independen yang memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (a) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak; (b) Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak; (c) Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak; (d) Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak; (e) Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak; (f) Melakukan Kerjasama dengan lembaga yang di bentuk masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan (g) Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
Pasal 31 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mewajibkan penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memberitahukan hak atas restitusi kepada korban. Tidak hanya kepada korban, pasal itu juga menyebutkan pemberitahuan hak atas restitusi korban juga wajib diberitahukan kepada LPSK. Hal itu didasari karena sampai saat ini, LPSK sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan perhitungan kerugian korban tindak pidana, tutur Livia Wakil Ketua LPSK.
Pada diskusi tersebut disampaikan juga bahwa pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, telah diatur pada PP No. 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
“Anak rentan menjadi korban tindak pidana, dengan demikian perlu menjadi perhatian khusus bagi kita semua,” tutup Ai Maryati. (Rv/Ed:Kn)