Perkelahian Pelajar Dipicu Konten Sosmed

CIBINONG – Komisi Perlindungan Anak Indonesia menduga aksi perkelahian antar pelajar yang terjadi belakangan ini akibat penyebaran konten kekerasan di sosial media (Sosmed). Persamaan referensi yang mudah didapatkan membuat modus perkelahian pelajar lebih terencana dan terstruktur hingga menimbulkan korban jiwa.

KPAI menganggap modus perkelahian antar pelajar di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor belum lama ini juga hampir sama dengan kasus-kasus perkelahian sebelumnya yang disebut-sebut mirip gladiator. Tim KPAI bersama Inspektorat Jenderal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyimpulkannya setelah berkunjung ke Kecamatan Rumpin, Selasa 28 November 2017.

“Secara kuantitatif kasus kekerasan fisik di Indonesia itu turun. Tapi kasus-kasus berbasis cyber itu naik,” kata Ketua KPAI Susanto setelah mengunjungi sekolah korban dan markas kepolisian sektor setempat. Ia menegaskan jajarannya memberi atensi khusus terhadap aspek-aspek yang menonjol dalam kasus-kasus tersebut, khususnya pengawasan konten kekerasan di media sosial.

Berdasarkan data terbaru KPAI, jumlah anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku kekerasan fisik mencapai 78 orang dari tahun sebelumnya hingga 108 orang. Sedangkan anak yang menjadi korban kekerasan akibat perkelahian, penganiayaan dan sebagainya mencapai 124 orang dari tahun sebelumnya sebanyak 146 orang.

KPAI telah menyampaikan pengamatannya itu kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Menurut Susanto, pemerintah pusat perlu melakukan penanganan kasus perkelahian antar pelajar secara fokus kepada pengawasan konten kekerasan di media sosial.

“Kita tidak bisa mencegah dan menghindar dari kemajuan teknologi seperti ini. Sehingga perlindungan terhadap anak harus dipastikan,” katanya menegaskan. Susanto mengapresiasi langkah pemerintah memanggil pengelola jejaring sosial dan aplikasi pesan seperti Facebook dan WhatsApp untuk memastikan perlindungan terhadap anak yang dimaksud.

Penggunaan medsos di bawah umur

Sementara itu, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengakui sudah banyak anak di bawah umur yang biasa menggunakan gawai dan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. “Usia minimal itu akhirnya tidak berlaku di FB, Twitter itu anak SD pun sudah menggunakan. Ini yang rentan,” katanya menambahkan.

Retno menjelaskan kedatangan mereka ke Kecamatan Rumpin adalah untuk mencari informasi kasus perkelahian yang menyebabkan kematian seorang pelajar SMP Islam swasta berinisial ARS (16). Menurut keterangan para guru, teman dan keluarga korban, sosok almarhum dikenal baik, soleh, berbakti pada orang tua dan setia kawan.

Kasus perkelahian ala gladiator menurut pengamatan KPAI telah terjadi sebanyak tiga kali di wilayah Jawa Barat sejak tahun lalu, yakni di Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi dan terakhir di Kabupaten Bogor. Perkelahian kali ini dilakukan tiga lawan tiga secara bergiliran dengan dalih ujian kekebalan tubuh. “Kalau dari modusnya hampir sama tapi ini melibatkan jumlah yang lebih kecil,” kata Retno.

Hingga saat ini, Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Bogor telah mengamankan satu dari tiga pelaku yang terlibat dalam kasus perkelahian tersebut. Pelaku berinisial DS kini masih menjalani pemeriksaan sedangkan dua lainnya yakni CA dan D belum ditemukan keberadaannya. Semuanya diakui masih berstatus pelajar kelas IX SMP di sekolah lain.

Berawal saling ejek

Kapolres Bogor Andi M Dicky Pastika menjelaskan ketiga pelaku diduga melukai korban menggunakan celurit pada bagian pinggang dan lengan. “CA membacok pinggang bagian belakang, D di bagian lengan kanan dan S bagian lengan kanan bawah,” kata dia saat gelar kasus di markasnya.

Dicky menduga perkelahian kali ini berawal dari saling ejek di media sosial antara tim pelaku dan korban yang berbeda sekolah. Kedua kubu beranggotakan masing-masing tiga orang sempat akan bertemu pada Senin (20/11/2017) namun batal. Mereka akhirnya sepakat melakukan perkelahian tersebut Jumat 24 November 2017.

Exit mobile version