Pernikahan Dini Picu Kekerasan Dalam Rumah Tangga

JAKARTA – Pernikahan dini atau pernikahan anak berusia di bawah 18 tahun rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sejumlah faktor turut mempengaruhi terjadinya kasus kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga hasil perkawinan dini tersebut.

Komisioner Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Jasra Putra, mengatakan, dalam pernikahan usia dini dipastikan fungsi-fungsi keluarga banyak yang tidak jalan. 

Menurut Jasra, sejumlah faktor dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dalam pernikahan dini. Faktor-faktor itu dalam proses berjalannya waktu berumah tangga akan mengarah kepada kekerasan.

“Faktor psikis misalnya, untuk yang ekonomi lemah dan usia kedua pasangan yang tidak terpaut jauh. Lambat laun akan terjadi cekcok. Fase-fase itu terkoneksi satu faktor dengan faktor yang lain,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada Kriminologi, Minggu, 26 November 2017.

Jasra juga mengatakan, KPAI banyak menerima pengaduan tentang anak mengasuh anak. Dari sisi mental, kata Jasra, kedua orang tua tersebut tidak siap mengasuh anaknya.

Sementara pemicu pernikahan di usia dini, kata Jasra, bisa pula terjadi karena ada dorongan keluarga yang tidak memahami. 

“Anak banyak yang tidak sekolah, akhirnya dinikahkan. Ada juga faktor budaya. Ada juga faktor anak sebagai sumber ekonomi,” katanya.

Menurut Jasra, berdasarkan sejumlah kajian, dari sisi usia, kondisi psikologis usia menikah matang pada saat berusia 22 tahun. 

“Kami mengkampanyekan hal itu, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) juga sudah gencar mengkampanyekan penundaan usia nikah,” ujarnya.

Jasra menjelaskan, pada usia 22 tahun seseorang sudah matang dari sisi psikologis. Dari sisi fisik, kata Jasra, janin seorang ibu juga sudah kuat. Sementara untuk pernikahan di usia dini yaitu pada 18 tahun, dari kedua sisi itu anak tidak siap menjalani proses berumah tangga.

Terkait faktor pemicu pernikahan dini, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari menyebut tradisi sebagai penyebab tertinggi angka perkawinan anak di Jawa Timur.

Berdasarkan data tahun 2015 dari Dinas Pembinaan Potensi Keluarga Besar (DPPKB) Kabupaten Bondowoso, kata Dian, angka pernikahan anak di wilayah setempat sudah mencapai 2.250 kasus.

“Angka perkawinan anak di tiga kabupaten itu merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Timur,” katanya, di sela Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak untuk wilayah Jawa Timur, yang berlangsung di Surabaya, Minggu, 26 November 2017.

Dian menambahkan, tingginya angka pernikahan anak di Jawa Timur disebabkan misalnya, faktor kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan pergaulan bebas.

“Tapi di tiga kabupaten yang menyumbang angka tertinggi perkawinan anak di Jawa Timur itu, terbanyak dikeranekan oleh tradisi, yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun di daerah setempat,” tuturnya.

Perkawinan anak di Jawa Timur menurut Dian, tergolong tinggi dengan rata-rata 27,8 persen berdasarkan analisis data perkawinan anak Badan Pusat Statistik.

 

Selain itu, mengutip data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2015, yang diambil berdasarkan permintaan dispensasi menikah di bawah umur ke Pengadilan Agama Jawa Timur, tercatat jumlah perempuan di bawah usia 16 tahun yang menikah atau hamil di provinsi setempat mencapai 5.000 orang.

Dian menilai pemerintah pusat perlu mengeluarkan Perpu, serta Perda di tingkat pemerintah daerah, tentang pencegahan pernikahan anak, serta menghapus dispensasi perkawinan.

“Selain itu, dibutuhkan juga kerja sama dan komitmen dari para pihak terkait untuk mencegah dan mengurangi pernikahan anak serta membangun kesadaran masyarakat atas dampak buruk pernikahan anak,” ucapnya. 

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyerukan penghentian perkawaninan anak dengan mendeklarasikan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak yang salah satunya berlangsung di Jawa Timur.

“Indonesia menduduki peringkat ke tujuh sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi se- dunia. Salah satu provinsi yang menyumbang angka perkawinan tertinggi di Indonesia adalah Jawa Timur,” ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan dan Budaya KPPPA Elvi Hendrani, di sela Deklarasi Bersama Stop Perkawinan Anak untuk wilayah Jawa Timur, yang berlangsung di Surabaya, Minggu, 26 November 2017.

Dia mengatakan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak diluncurkan pertama kali oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembesi pada tanggal 3 November 2017 di Jakarta.

Dia mencontohkan, berdasarkan data tahun 2015 dari Dinas Pembinaan Potensi Keluarga Besar (DPPKB) Kabupaten Bondowoso, angka pernikahan anak di wilayah setempat sudah mencapai 2.250 kasus.

Sedangkan di Kabupaten Probolinggo, DPPKB setempat mencatat selama Januari – Juni 2016, angka pernikahan usia di bawah 20 tahun mencapai 1.985 pernikahan atau 45,15 persen dari total 4.396 pernikahan.

Exit mobile version