PERS RELEASE KEKERASAN DI SEKOLAH MARAK, KPAI MENYELENGGARAKAN FGD ANALISIS KEBIJAKAN PENANGANAN KEKERASAN DI PENDIDIKAN

Data kekerasan di sekolah dari berbagai sumber menunjukkan bahwa kekerasan di pendidikan semakin memprihatinkan, diantaranya 84% Siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah (7 dari 10 siswa), 45% siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan , 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya, 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah, 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakanpelaku kekerasan, dan 50% anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

“Berdasarkan kondisi maraknya kekerasan di pendidikan, maka Bidang Pendidikan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyelenggarakan FGD (Focus Group Disscussion) bertema Kekerasan di Pendidikan dan kritisi terhadap Instruksi Gubenur DKI JAKARTA No 16/2015 ttg penanganan dan pencegahan kekerasan di satuan pendidikan,”ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang pendidikan.

Ada tiga narasumber dalam FGD,  yaitu Pratiwi (LBH Jakarta), l Dina Haryana (Yayasan SEJIWA)  dan Prof.  Melanie Sadono Djamin dari Gerakan Nasional Anti Bullying (GENAB),  pada 21 November 2017 jam 9-12.30 di lantai 3 KPAI.

FGD di hadiri oleh perwakilan dari Kementerian PPPA,  Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Komnas Perempuan, P2TP2A Jakarta,  Dinas PPA DKI Jakarta,  Komnas PA,  LPAI,  Save The Children,  YNPN,  FSGI,  Rumah FAYE, Sayangi Tunas Cilik,  perwakilan sekolah swasta dan negeri (SD sampai SMA/SMK).

MENGAPA KEKERASAN DI SEKOLAH SULIT DIATASI

Dina Haryana mengungkapkan lima alasan mengapa kekerasan di sekolah sulit diatas,  yaitu : Pertama,  Anggapan yang masih ada diantara pendidik bahwa menghukum anak dengan kekerasan masih diperlukan untuk mendisiplinkan. Kedua,  Perlakuan sekolah yang tidak konsisten atas kekerasan yang dilakukan siswa kepada siswa lain. Ketiga,  Pemahaman tentang definisi kekerasan yang tidak merata.  Keempat, Pemahaman tentang kebijakan-kebijakan yang ada tentang kekerasan di sekolah yang tidak merata. Kelima, Kondisi di rumah yang tidak harmonis termasuk tekanan ekonomi.

Selin itu, menurut Dina yang berprofesi sebagai psikolog, ada factor lain yang sangat berpengaruh sehingga kekerasan sulit di putus mata rantainya, yaitu: Pertama, anak kerap menyaksikan kekerasan melalui games dan youtube yang dapat memicu anak melakukan kekerasan.  Ketiga,  kurang di fahaminya hak-hak anak oleh pihak2-pihak yang terkait dengan anak. Kedua,  Anak-anak belum cukup diberdayakan agar mampu melindungi dirinya serta melindungi temannya.

Melanie Sadono Djamil menyatakan bahwa dalam pengalaman  pendampingan Gerakan Nasional Anti Bullying (GENAB),  berbagai bullying yang terjadi di sekolah sangat dipengaruhi oleh siswa senior dan para alumni, terutama alumni yang baru lulus 1-3 tahun. “Jadi untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah, tidak bisa hanya dilakukan oleh sekolah sendiri, tetapi membutuhkan sinergi banyak pihak, mulai dari orangtua, guru, kepala sekolah, petugas sekolah lainnya, komite sekolah, dinas pendidikan setempat, dan masyarakat,” ujar Melanie yang juga dosen di Universitas Trisakti, Jakarta.

Ada empat pilar utama dalam gerakan nasional anti bullying yang di gagasa oleh GENAB, yaitu : Pertama, Rumah dan keluarga harus dikembalikan fungsinya dalam memaksimalkan peran orangtua dalam mendidik anaknya. Kedua, Pencegahan bullying dengan kampanye secara terus menerus. Ketiga, Advokasi dan peran KPAI sangat besar dalam melakukan perlindungan anak dengan memutus mata rantai kekerasan di sekolah. Keempat, pentingnya enguatan pendidikan karakter (PPK), terutama budi pekerti dari pendidik sampai petugas sekolah.

INSTRUKSI GUBENUR DKI JAKARTA NO 16/2015 : MELINDUNGI SEKALIGUS MELANGGAR HAK ANAK

Instruksi Gubernur Pencegahan Bullying pada prinsipnya adalah sebuah langkah progresif yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Namun demikian sebagaimana prinsip peraturan perundang-undangan Instruksi Gubenrnur ini tidaklah boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya secara khusus UUPA.

Instruksi Gubernur Pencegehan Bullying salah satunya mengatur bahwa, “ Bagi Peserta didik yang melakukan bullying dan kekerasan/berkelahi/tawuran baik pada waktu jam belajar maupun di luar waktu jam belajar, maka yang bersangkutan tidak lagi diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Negeri di Provinsi DKI Jakarta”, ujar Pratiwi, yang merupakan pengacara public LBH Jakarta.

Lanjut Pratiwi,  “Instruksi Gubernur ini memberikan sanksi bagi peserta didik yang melakukan bullying berupa penutupan akses pemenuhan hak atas pendidikannya. Pemerintah DKI Jakarta gagal melihat institusi pendidikan serta proses pendidikan sebagai wujud perlindungan bagi anak itu sendiri, dan justru menjauhkannya dari proses pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah”.

FGD kemudian mendorong agar KPAI melakukan advokasi atas INGUB No. 16/tahun 2015, karena  berdasarkan analisis bersama dalam FGD menyepakati,  bahwa sudah selayaknya Pemerintah DKI Jakarta melakukan revisi atas Instruksi Gubernur Prov. DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Bullying serta Kekerasan di Lingkungan Sekolah dan menyesuaikannya dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yakni Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dan UUPA.

“ KPAI akan melakukan advokasi terkait dorongan revisi INGUB No 16/2015. KPAI menyadari bahwa pengaturan yang holistik dan taat nilai serta prinsip HAM pastilah akan melahirkan kebijakan yang sejalan dengan sekolah ramah anak dan juga ramah hak asasi manusia. Sebab anak sejak dini harus dibukakan pemahamannya bahwa ia harus menghargai sesamannya manusia dan hal tersebut harus dimulai pula oleh pemerintah dari kebijakannya yang memanusiakan manusia,” urai Retno.

 

RETNO LISTYARTI, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan

082298444546/085894626212

Exit mobile version