PERS RELEASE KPAI BERSAMA KEMDIKBUD, KEMENAG DAN KEMENTERIAN PPPA MENDISKUSIKAN PERCEPATAN SEKOLAH RAMAH ANAK DALAM UPAYA KESIAP SIAGAAN BENCANA

                                                          

Selama ini kekerasan di pendidikan kerap menjadi alasan kuat berbagai pihak untuk melakukan percepatan Sekolah Ramah Anak (SRA), padahal untuk sekolah menjadi aman, nyaman dan ramah bagi warga sekolah (baca tidak hanya peserta didik), juga diperlukan ketersediaan sarana dan prasarana yang ramah anak, yaitu yang aman, tidak membahayakan anak, dan mencegah anak agar tidak celaka. Apalagi mengingat wilayah Indonesia rawan bencana. Hal tersebut mengemuka dalam Focus Group Discussion Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beberapa waktu lalu di Jakarta.

Narasumber dalam FGD terdiri dari tiga Kementerian Lembaga, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) diwakili oleh Chatarina Muliana Girsang (staf ahli Menteri bidang regulasi); Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) diwakili oleh Lenny N. Rosalin (Deputi Tumbuh Kembang Anak); dan Kementerian Agama diwakili oleh Ahmad Umar (Direktur KSKK Madrasah Ditjen Penfis). Diskusi di moderator oleh Retno Listyarti (Komisioner KPAI).

FGD juga dihadiri oleh Dinas Pendidikan dan perwakilan beberapa sekolah dan madrasah di DKI Jakarta, yang sudah menerapkan program SRA, serta sejumlah perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang perlindungan anak.

SRA DAN AMANAT INPRES NO.1 TAHUN 2017 TENTANG GERMAS HIDUP SEHAT

Kegiatan FGD dibuka oleh Susanto, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam sambutannya, Susanto mengingatkan bahwa selama hampir dua tahun ini ada Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Sekolah Ramah Anak (SRA) dan Raperpres Sekolah Aman yang sudah di bahas antar Kementerian Lembaga. Namun sayangnya, Raperpres tersebut mandeg, padahal tingkat pembahasannya sudah sampai KEMENKO PMK.

FGD ini salah satu agendanya adalah membicarakan kembali nasib RAPERPRES SRA. Mengingat amanat untuk mendorong SRA tertuang dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 sebagai tugas dan fungsi KEMDIKBUD dan KEMENAG. Hingga tahun 2018, program SRA telah menjangkau lebih dari 10.000 sekolah di Indonesia, baik sekolah di bawah kewenangan Kemdikbud maupun Kementerian Agama.

Mengingat dalam INPRES No 1 tahun 2017 KEMENAG dan KEMDIKBUD merupakan dua kementerian yang diamanatkan untuk mendorong percepatan SRA, menurut Ahmad Umar, “KEMENAG saat ini sedang menyiapkan edaran implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA) bagi madrasah-madrasah di bawah kewenangan Kemenag. Diharapkan edaran tersebut dapat mendorong percepatan SRA di madrasah-madrasah”.

Sedangkan Kemdikbud yang sudah memiliki PERMENDIKBUD No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, maka menurut Chatarina Girsang, Staf Ahli Menteri bidang Regulasan, KEMDIKBUD akan menyiapkan PERMENDIKBUD khusus untuk mendorong percepatan SRA sebagaimana diamanatkan dalam INPRES tentang Germas Hidup Sehat tersebut.

Menurut Lenny Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA, “dalam mengimplementasikan SRA, satuan pendidikan harus sungguh-sungguh menerapkan Kebijakan SRA yang ditandai dengan 6 komitmen, yaitu adanya komitmen tertulis, SK Tim SRA, program yang mendukung SRA, Pendidik dan Tenaga Kependidikan Terlatih Hak-hak Anak, Pelaksanaan proses belajar yang ramah anak (Penerapan Disiplin Positif), Sarana dan Prasarana yang ramah anak (tidak membahayakan anak, mencegah anak agar tidak celaka), partisipasi anak, dan Partisipasi Orang Tua, Lembaga Masyarakat, Dunia Usaha, Stakeholder lainnya, dan Alumni”.

BELAJAR DARI GEMPA LOMBOK DAN PALU : SRA DAN MITIGASI BENCANA

Indonesia merupakan negeri yang memiliki karateristik geografis rawan bencana. Terletak di wilayah cincin api dunia, Indonesia sangat rawan diguncang gempa bumi hingga gelombang tsunami. Gunung-gunung berapi yang terdapat di hampir semua pulau juga menambah rentetan kemungkinan terjadinya bencana vulkanologi.

Selain itu, posisinya yang berada di atas garis khatulistiwa membuat Indonesia hanya memiliki dua musim, yakni panas dan penghujan. Musim panas dapat menyebabkan kekeringan juga kebakaran hutan, sementara musim hujan biasanya mengakibatkan banjir. Ada juga ancaman bencana angin seperti badai tropis dan putting beliung.

Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah diharapkan memiliki kesiapan siagaan dalam menghadapi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, termasuk menyiapkan sarana dan prasarana di sekolah yang wajib ada adalah jalur evakuasi dan titik kumpul saat terjadi bencana. Dalam SRA, jalur evaluasi dan titik kumpul wajib ada, termasuk pelatihan kesiapan siagaan bencana secara rutin.

“Kesiapsiagaan bencana di satuan pendidikan pada semua jenjang adalah sebagai upaya meminimalkan korban saat bencana terjadi di jam sekolah,”ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI.

Selain itu, sekolah juga wajib secara rutin melatih warga sekolah dalam simulasi bencana, gempa, tsunami, banjir, kebakaran, dan lain-lain. Momenum gempa Lombok dan Palu dapat dijadikan titik awal kesadaran mitigasi bencana kepada semua pihak di negeri ini. Dalam SRA, komponen sarana dan prasarana termasuk jalur evakuasi bencana wajib tersedia demi keamanan dan keselamatan semua warga sekolah, bukan hanya keselamatan peserta didik semata.

Jakarta, 30 Oktober 2018
Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan
Cp : 082298444546

Exit mobile version