Prostitusi Gay Anak Gunakan Aplikasi

JAKARTA Kasus prostitusi gay anak yang memakan 148 korban tak hanya menggunakan media sosial Facebook, tapi juga menggunakan aplikasi khusus gay. Temuan aplikasi ini akan menjadi bahan koordinasi antara penyidik Bareskrim Mabes Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

“Mereka (jaringan prostitusi) menggunakan aplikasi supaya memudahkan berhubungan atau menemukan sasaran bagi mereka,” ungkap Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/9).

Agung menjelaskan, aplikasi ini untuk memudahkan pelanggan dalam mencari anak-anak yang sesuai dengan kriterianya. Alasannya karena pelaku alias muncikari tersebut telah memasukkan data korban ke dalam aplikasi tersebut.

“Data anak-anak itu (korban) dimasukkan oleh AR ke aplikasi itu, kemudian orang-orang jadi bisa tahu. Oh di dekat sini, ada yang gay, di mana nih yang paling dekat. Misalnya ketemu, oh ini. Jadi, orang itu bisa chatting sama si anak ini,” jelasnya.

Agung enggan menyebutkan jenis aplikasi gay yang dimaksud. Menurut dia, yang pasti aplikasi tersebut isinya dapat menjelaskan bahwa korban terpantau ada di lokasi manapun. “Ya pokoknya ada aplikasi yang memberi tahu mana dekat sini yang perilakunya atau orangnya gay. Jadi, dia bisa bekerja atau komunikasi langsung,” katanya menjelaskan.

Agung sedikit menambahkan bahwa aplikasi tersebut juga menampilkan konten pornografi. Sehingga, apa pun yang ada di aplikasi tersebut dapat dilihat oleh semua orang. “Artinya, kalau pakai UU ITE bisa menyebarkan konten pornografi. Jadi, saya pikir, kita mesti mendalami lagi,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Agung, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Kemkominfo untuk menindaklanjuti munculnya aplikasi tersebut. Termasuk menindaklanjuti soal Facebook yang menjadi awal mula terpecahkannya kasus prostitusi ini oleh tim Cyber Crime.

Soal siapa saja pelanggan prostitusi gay anak, Agung masih belum mau mengungkapkannya. Saat ditanyakan mengapa terkesan tertutup untuk mengungkapkan siapa saja pengguna para korban ini, menurut Agung, pengungkapan tidak mudah. Alasannya karena dalam hal penegakan hukum harus ada alat bukti sehingga tidak terkesan menuduh sembarangan.

“Kita kan dalam konteks penegakan hukum. Kita nggak bisa kemudian menuduh orang tanpa dasar hukum. Kalau kita bicara hukum, kita bicara bukti. Tersangkanya gimana, bisa tidak dikonstruksikan. Itu hal yang harus kita siapkan,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam mengatakan, untuk menemukan siapa saja pelaku yang memanfaatkan anak-anak ini, bisa ditelusuri melalui transaksi yang telah dilakukan. Apalagi, bukti rekening transaksi dari pelanggan saat ini diketahui telah dipegang oleh tersangka berinisial E. Sehingga, ini semakin memudahkan penyidikan.

Namun, lagi-lagi menurut Agung, di hadapan hukum, tidak semudah itu. “Kan hukum tidak semudah itu. Perbuatan itu harus bisa dikonstruksikan. Poinnya adalah biarkanlah itu menjadi urusan penyidik,” ujar dia.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, tujuh anak-anak remaja korban perdagangan dan eksploitasi seksual menjalani rehabilitasi psikososial di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur.

“Ketujuh anak remaja korban perdagangan manusia dan eksploitasi seksual menjalani rehabilitasi psikososial di RPSA Bambu Apus, Jakarta Timur,” ujar Mensos.

Di Indonesia, kata Mensos, sebenarnya ada 18 RPSA. Tetapi, RPSA di Bambu Apus, Jakarta Timur, yang fasilitasnya paling lengkap karena didukung tenaga kanselor, psikolog, serta pekerja sosial (peksos).

“Sebenarnya ada 18 RPSA di seluruh Indonesia. Tapi, yang paling lengkap fasilitas didukung dengan tenaga kanselor, psikolog, serta peksos berada di RPSA Bambu Apus, Jakarta Timur, ” katanya.

Khofifah menyebut, korban yang dikirim ke RPSA Bambu Apus tidak hanya dari warga di sekitar Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, serta Bogor, tetapi juga dari daerah-daerah lain.

Ketujuh remaja tersebut, ungkap Mensos, telah menjalani assessment sekaligus dalam proses pemulihan psikososial, mengingat masa kecil, rumah tinggal orang tua, serta masa-masa indah dalam hidupnya.

“Mereka tengah menjalani proses konseling dan pemulihan, life cycle roadmap, mengingat kembali masa kecil, kenangan indah dan kenangan tidak baik, mengingat bagaimana rumah mereka, ” katanya.

Exit mobile version