Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Ekspose Hasil Pengawasan Klaster Perlindungan Khusus Anak KPAI tahun 2023 pada 29 November 2023 di Hotel Lumire, Jakarta. Rakornas tahun ini mengusung tema “Menuju Indonesia Emas Bebas Kekerasan Terhadap Anak”.
Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah hadir dan membuka secara resmi rakornas hari ini, didampingi jajaran seluruh Anggota KPAI. Rakornas ini dihadiri oleh Perwakilan Kementerian/Lembaga terkait, mitra pembangunan, UPTD PPPA, seluruh KPAD (Komisi Perlindungan Anak Daerah) di Indonesia, serta organisasi baik secara luring maupun daring.
“Pengawasan perlindungan anak turut memberikan penguatan-penguatan pada pencegahan, penanganan dan implementasi K/L, Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengikis disparitas target capaian, gap-gap atas pembangunan ramah anak dalam implementasi dan penganggaran serta upaya responsibilitas layanan terhadap anak,” ujar Ketua KPAI saat membuka Rakornas.
Melalui rakornas dan ekspose hasil pengawasan ini diharapkan tersedia informasi fakta dan potensi kerentanan anak hasil pengawasan klaster Perlindungan Khusus Anak tahun 2023 serta semakin meningkatnya komitmen dan program dari Kementerian/Lembaga, serta Pemerintah Daerah untuk memajukan sistem perlindungan anak melalui pelaksanaan hasil rekomendasi pengawasan KPAI.
UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 9 (1) soal urusan pemerintahan yang dinyatakan bahwa “Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum.” (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
“Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai stakeholder KPAI memiliki peran dan dukungan kebijakan dalam rangka pencapaian target nasional urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak termasuk perlindungan khusus anak baik dari tingkat pusat, Provinsi serta tingkat Kabupaten/Kota,” tutur Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kemendagri, Sugeng Hariyono saat menyampaikan pidato kunci mewakili Menteri Dalam Negeri di Rakornas hari ini.
Kemendagri memastikan program kegiatan yang mendukung pencapaian target nasional urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta urusan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana tercantum dalam dokumen perencanaan daerah melalui sinkronisasi perencanaan serta memastikan ketersediaan alokasi APBD sesuai kemampuan keuangan daerah masing-masing.
KPAI melaksanakan agenda strategis pengawasan di tahun 2023 dalam ruang lingkup 5 klaster perlindungan anak, yakni hak sipil, kualitas pengasuhan, pengawasan pencegahan dan penanganan perkawinan anak, Indonesia bebas stunting serta pemenuhan hak Pendidikan. dalam Perlindungan Khusus Anak pengawasan KPAI memberikan perhatian terhadap anak korban kekerasan (kekerasan fisik, kekerasan seksual dan tren anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup, Sistem Peradilam Pidana Anak (SPPA), eksploitasi ekonomi dan seksual di ranah online, anak korban pornografi, anak korban radikalisme dan jaringan terorisme serta upaya menghapus pekerja anak.
Sementara itu, Yuli Adiratna Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang hadir dalam panel Rakornas menyampaikan beberapa strategi Kemnaker dalam pencegahan dan penanganan pekerja anak yakni: Mensosialisasikan penerapan pengawasan norma kerja anak sebagai upaya penanggulangan pekerja anak; Mengembangkan kolaborasi antar K/L dan DuDi serta NGO/CSO dalam penarikan pekerja anak dari dunia kerja ke pendidikan yang telah dilaksanakan sejak tahun 2008; Mengembangkan strategi kerjasama dengan instansi lintas sektor, LSM dan swasta (DuDi) serta pemerintah daerah bahkan sampai tingkat Desa; Mendorong pelembagaan gerakan nasional penghapusan pekerja anak sampai ke daerah dan pengarusutamaan penghapusan Pekerja Anak dan BPTA dalam pembangunan (prioritas dalam RPJMN/D); Penyebarluasan informasi tentang urgensi penghapusan pekerja anak dan BPTA dalam pembangunan nasional/daerah; Melakukan “Pencanangan Sektor Perkebunan Kelapa Sawit Terbebas dari Pekerja Anak Tahun 2021 dan 2023”; Mengembangkan Roadmap Indonesia Bebas Pekerja Anak yang disandingkan dengan SDGs dan komitmen global dalam penghapusan pekerja anak.
Data kasus kekerasan terhadap anak adalah sebanyak 1.478 kasus (Pusdatin KPAI, Oktober 2023), dengan rincian kasus terbanyak adalah anak korban Kejahatan Seksual sebanyak 615 kasus, anak korban Kekerasan Fisik/Psikis sebanyak 303 kasus, anak Berkonflik Hukum sebanyak 126 kasus, anak korban Eksploitasi Ekonomi/Seksual sebanyak 55 kasus, dan Anak Korban Eksploitasi Ekonomi/Seksual sebanyak 55 kasus. Sedangkan sepanjang Januari sampai dengan Desember 2022, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatatkan jumlah perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya dan ditangani adalah sebesar 32.687 dengan rincian 25.053 korban (Simfoni PPA).
Melalui Rapat Koordinasi Nasional KPAI menyampaikan ekspose hasil – hasil pengawasan selama tahun 2023 kluster Perlindungan Khusus Anak serta rekomendasi, sebagai berikut:
Pengawasan KPAI Klaster Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan Anak Korban Kekerasaan Seksual
Menghindarkan anak dari dampak negatif sistem peradilan pidana adalah tujuan utama dari Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Anak mendapatkan stigma sebagai pelaku kriminal sepanjang hidup; anak putus sekolah; anak terpapar prisonisasi (budaya khusus yang berkembang di penjara) karena berada dalam tahanan orang dewasa; adalah sebagian dari dampak yang dicegah melalui SPPA. Anak yang melakukan pelanggaran hukum berangkat dari situasi pengasuhan atau lingkungan sosial yang tidak mendukung optimalisasi proses tumbuh kembang anak. Sehingga berpengaruh terhadap mental, emosional, karakter, dan perilaku anak. KPAI memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk peningkatan pelaksanaan SPPA sebagai berikut:
- Memastikan setiap regulasi/aturan pelaksanaan Undang-Undang tidak mengurangi hak anak. Perda tentang layanan anak masih membatasi layanan hanya kepada anak korban. Anak saksi dan anak berkonflik hukum/AKH belum mendapatkan layanan. Kemendagri, Kementerian Hukum dan HAM, serta K/L terkait perlu melakukan pengawasan produk hukum terkait anak;
- Optimalisasi pendirian sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan UU SPPA dan UU TPKS dengan mempertimbangkan geografis negara kepulauan seperti LPKS, Bapas, LPKA, termasuk UPTD PPA, dan program rehabilitasi serta reintegrasi bagi ABH oleh Kementerian Sosial (Kemensos) , Kementerian Hukum dan HAM, serta Kemen PPPA;
- Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan tenaga kemasyarakatan tentang SPPA serta tindak pidana kekerasaan seksual pada anak sangat penting oleh Kepolisian RI, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kemensos. Serta memastikan persebaran petugas terlatih tersebut secara merata di Kab/Kota luar Pulau Jawa agar tidak ada lagi anak tercabut hak-haknya sebagai ABH. Termasuk peningkatan penerapan alternatif pembatasan kemerdekaan dan pemidanaan pada AKH;
- Peningkatan anggaran perlindungan anak di Kabupaten/Kota melalui sumber pembiayaan lokal/Desa melalui kerjasama K/L dan Pemerintah Daerah di bawah koordinasi Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kemendagri;
- Setiap K/L urusan perlindungan anak dan pemerintah daerah wajib meningkatkan upaya edukasi tentang pengasuhan dan pencegahan kekerasaan anak, termasuk meningkatkan informasi tentang layanan-layanan yang dapat diakses ABH.
Pengawasan Penanggulangan Anak Korban Jaringan Terorisme.
Dalam memastikan perlindungan anak-anak yang menjadi korban jaringan terorisme KPAI menemukan berbagai situasi dan kondisi yang perlu perhatian secara komprehenshif, sebagai berikut :
a. Pencegahan
- Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) perlu merumuskan kebijakan dan strategi program pengawasan termasuk memberikan sanksi dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme kepada anak di lingkungan satuan pendidikan, termasuk lembaga pendidikan informal lainnya;
- Pemerintah Pusat dan Daerah perlu melakukan penguatan pola pengasuhan anak berperspektif nasionalisme, moderasi beragama, dan literasi digital kepada para orang tua, keluarga, dan orang-orang di lingkungan terdekat anak;
- Pemerintah Daerah perlu menguatkan keterlibatan perangkat daerah mulai dari RT, RW, Babinsa, Babinkamtibmas, Lurah, Camat, Koramil, Kapolsek, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Organisasi Masyarakat dalam rangka pengawasan, deteksi dini bibit/calon radikalisme dan terorisme, sehingga dapat menciptakan daerah atau kawasan tempat tinggal yang aman, terbebas dari radikalisme dan terorisme, berbasis kearifan lokal;
- Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemen Kominfo) dan Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) hendaknya meningkatkan produksi konten kontra radikalisme dan terorisme sesuai dengan usia.
b. Penanganan
- Kemen Kominfo perlu melakukan pengawasan terhadap konten-konten yang bermuatan radikalisme dan terorisme;
- Kemensos dan BNPT perlu menguatkan keterlibatan stakeholder terkait dalam proses deradikalisasi dan reintegrasi sosial ke masyarakat.
c. Implementasi Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rancangan Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme (RAN PE) 2020-2024:
- BNPT dan Pemerintah Daerah perlu meningkatkan sosialisasi yang masif tentang RAN PE dan program sinergitas kepada stakeholder terkait;
- BNPT mendorong peningkatan peran dan partisipasi stakeholder dalam upaya pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme seperti peningkatan peran Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam penyelesaian permasalahan keluarga ex-Napiter;
- BNPT perlu melakukan pendampingan kepada Pemerintah Daerah dan stakeholder terkait implementasi RAN PE dan program sinergitas di daerah, meliputi: (1) Mendorong terbitnya Perda terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Anak Korban Jaringan Terorisme;(2) Menyusun mekanisme atau panduan implementasi RAN PE dan sinergitas bagi Stakeholder di daerah;(3) Mendorong peningkatan alokasi anggaran dalam rangka pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme berbasis pada hasil kajian terhadap situasi dan kondisi serta permasalahan-permasalahan keluarga ex-Napiter;(4) Mendorong penguatan program pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme dari stakeholder di daerah berbasis pada hasil kajian terhadap situasi dan kondisi serta permasalahan-permasalahan keluarga ex-Napiter;
- BNPT perlu menguatkan keberadaan Fasilitator Daerah baik dari sisi kuantitas maupun kualitas berdasarkan hasil kajian terhadap kondisi, situasi, dan kebutuhan masing-masing daerah.
Anak Korban pornografi dan Cyber Crime
Tantangan penggunaan gadget dan literasi digital untuk anak menjadi perhatian serius dalam 5 tahun terakhir, sehingga hasil-hasil pengawasan di tahun 2023 menitik beratkan anak-anak yang terpapar pornografi dan cyber crime sebagai berikut :
a. Peraturan Kebijakan
- Kemen Kominfo perlu melakukan filtering secara cepat, akurat, dan berdaya terkait konten-konten bermuatan pornografi sesuai dengan undang-undang ITE;
- Mendorong implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik khususnya ketentuan terkait pemutusan akses dan denda administratif sesuai Pasal 90c, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 98, Pasal 100 ayat (2) b;
- Mendorong Kemenko PMK segera mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi serta penyusunan draft Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Pornografi;
- Perlunya koordinasi lintas instansi (Kepolisian, Pemerintah Daerah, dan Pusat Layanan) dalam penanganan kasus pornografi.
b. Program: Penguatan edukasi literasi digital oleh Kemen Kominfo, Kemendibudristek, dan Kemenag di satuan pendidikan, masyarakat, dan komunitas.
c. Layanan Kasus:
- Memberikan perlindungan dan pendampingan pada korban dan keluarga terkait pornografi;
- Penguatan layanan UPTD PPA/P2TP2A agar dapat memberikan layanan kepada anak dan keluarga korban pornografi;
- Mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menyediakan layanan rehabilitasi anak yang terpapar pornografi di setiap RSUD atau RSJ.
Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Fisik Psikis Anak.
Kekerasan anak secara fisik adalah kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak seperti penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Berikutnya, kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang dialami anak yang dapat berupa menurunkan harga diri serta martabat korban serta meliputi penghardikan, penganiayaan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, perundungan (bully).
KPAI melakukan pengawasan dan pencegahan agar anak-anak terhindar dari kekerasan atau jika sudah terjadi mendapatkan penanganan yang cepat, tepat dan jelas. Rekomendasi KPAI dari hasil pengawasan, sebagai berikut :
- KPAI mendorong Presiden Republik Indonesia agar melakukan pengawasan dan meminta laporan secara berkala terhadap implementasi Peraturan Presiden No 10 tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak;
- KPAI mendorong Presiden Republik Indonesia mencanangkan Gerakan Zero Kekerasan pada Anak, agar di tahun 2045 Indonesia menjadi negara dengan nol kasus kekerasan pada anak;
- Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) agar melakukan pemantauan secara komprehensif dari Kementerian/Lembaga terkait implementasi Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak;
- Kemen PPPA agar melakukan penangan kekerasan terhadap anak secara integratif dan komprehensif melibatkan multi stakeholder;
- Kemensos agar membuat regulasi pelaksaan pekerja sosial untuk mendampingi kasus kekerasan kepada anak korban secara terstandar dan struktur, serta dengan respon cepat memberikan bantuan sosial kepada anak korban kekerasan sesuai dengan mandat Undang-Undang Perlindungan Anak;
- Kemendikbudristek agar melakukan pengawasan dan memberikan respon yang cepat terhadap kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Meningkatkan pengawasan secara berkala dan terukur baik secara kuantitatif dan kualitatif terhadap implementasi Permendikbud No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Selain itu juga, Kemendikbud perlu melakukan pengawasan peran Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) pada berbagai level dan meningkatkan peran TPPK tidak hanya sebatas kuantitas, namun juga kualitas tim TPPK;
- Kemendikbudristek perlu melakukan capacity building kepada guru-guru Bimbingan Konseling (BK), serta perlu adanya perubahan perspektif terkait guru BK (perlu adanya redefinisi terkait pemahaman tugas dan fungsi guru BK), terutama untuk efektifitas pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
- Kemendikbudristek melalui Sekolah perlu memberlakukan kembali jam pelajaran untuk guru BK di kelas yang berisi penyampaian materi-materi anti bullying, reproduksi sehat, tugas-tugas perkembangan anak, fenomena sosial dari guru BK;
- Kementrian Agama agar membuat regulasi khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di Madrasah secara komprehensif dan mudah dipahami serta dilaksanakan di satuan pendidikan dan pesantren;
- Kemkes perlu menetapkan kebijakan agar pemerintah daerah dapat menyediakan Psikolog Klinis minimal di seluruh RSUD di setiap Kab/Kota atau bahkan di Puskesmas, dan dalam pelaksanaannya masyarakat dapat menggunakan BPJS sehingga layanan terkait pemulihan “sakit” mental menjadi sehat mental dapat diakses oleh seluruh masyarakat khususnya anak dan pemuda. Serta mendesak agar UU terkait Kesehatan mampu menjawab fenomena ketersediaan, pemerataan, dan pembangunan kapasistas psikolog;
- Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) agar melakukan upaya preventif dan solutif terkait dengan kekerasan yang terjadi pada anak dengan kegiatan yang bersifat suportif dan suistanability demi terciptanya pemuda harapan bangsa;
- Kemen Kominfo agar melakukan filtering situs yang berafiliasi sebagai salah satu penyebab anak terinspirasi melakukan kekerasan, seperti situs jual beli organ manusia, game berbau kekerasan, suicide, dll;
- Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) perlu melakukan survei kepada seluruh anak Indonesia baik yang bersekolah formal dan non formal, yang pernah mengalami kekerasan, baik fisik, psikis dan seksual. Data ini dipakai sebagai acuan Pemerintah dan seluruh stakeholder untuk melakukan pencegahan dan penanganan yang terintegrasi, komprehensif dan massif;
- Kepala Daerah agar membuat regulasi peraturan daerah dalam pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak, dan melakukan tindak lanjut dari Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (PKTA) yang sudah menjadi Peraturan Presiden serta melaksanakan PKTA dengan mengidentifikasi aspek sosial budaya di masing-masing wilayah;
- Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota perlu melakukan penyuluhan rutin bagi anak dan pemuda dengan memasukkan materi pencegahan dalam kurikulum belajar, membuat komunitas anak bebas bullying, membuat konten-konten tentang pencegahan kekerasan anak yang dipublikasikan baik melalui video, poster, iklan TV, dll, sehingga dapat memantik semangat anak-anak melalui kegiatan yang produktif seperti lomba pembuatan video anti bullying, dll;
- Dinas Pendidikan dan Satuan Pendidikan melakukan penyuluhan kepada orang tua murid atas peran pengasuhan dari orang tua kepada pembatasan penggunaan gadget (untuk tugas sekolah, game online, komunikasi dan media sosial), sebagai upaya deteksi awal pencegahan kekerasan pada anak;
- Aparat Penegak Hukum, Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim Pengadilan perlu meningkatkan kualitas hukum yang berperspektif perlindungan anak, baik dalam proses hukum maupun pemenuhan hak restitusi anak korban pidana dan tetap bersinergi dengan OPD terkait;
- Kepada Persatuan Wartawan Indonesia, agar dalam memberitakan setiap kasus kekerasan pada anak terutama korban, saksi dan pelaku tidak mengekspos latar belakang juga terkait dengan data pribadi sesuai dengan UU Perlindungan Anak;
- Kepada Organisasi Masyarakat lintas agama agar melakukan edukasi dan pencegahan kekerasan pada anak serta membangun sistem regulasi yang terkoordinasi dengan baik dengan organisasi yang lain.
Indonesia Bebas Pekerja Anak Perlindungan Anak Korban Eksploitasi
Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk cita-cita bersama dengan moto “Masa Depan Tanpa Pekerja Anak” (Future without Child Labour) sebagai upaya global (global efforts) mengakhiri pekerja anak. Dalam melakukan pengawasan pekerja anak tahun 2023, KPAI telah lakukan pengawasan di 10 titik se-Indonesia memetakan kerentanan yang dihadapi pekerja anak dan juga peran-peran pentahelix dalam menanggulangi pekerja anak, termasuk layanan yang tersedia bagi pekerja anak.
Rekomendasi KPAI mendorong upaya penyempurnaan peta jalan Indonesia Bebas Pekerja Anak dan perbaikan kebijakan serta program pembangunan dalam perlindungan anak, sebagai berikut:
a. Kepada pemerintah Pusat :
- Kepada Presiden RI bahwa upaya menghapus situasi anak dalam katagori pekerja anak, anak bekerja, maupun anak dalam bentuk pekerjaan terburuk perlu dilanjutkan dalam RPJMN 2024-2029 untuk memastikan upaya pencapaian SDGs, menurunkan kemiskinan ekstrim dan meningkatkan Human Development Indeks dan capaian kesejahteraan anak;
- Kemendagri perlu mendorong dukungan pada pemerintah daerah untuk memperkuat kelembagaan dan dukungan RAD meliputi program, penganggaran dan SDM sebagai upaya menghapus pekerja anak. Sekaligus mendorong untuk memasukan nomenklatur khusus terkait Penghapusan Pekerja Anak dalam rancangan APBD;
- Mendorong Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi untuk melakukan pengawasan penggunaan Dana Desa, khususnya terkait kegiatan pencegahan maupun penanganan pekerja anak di level desa;
- Mendorong Kemnaker untuk melakukan pemutakhiran data pekerja anak, pengawasan yang terstruktur dan berkelanjutan, serta adanya penegakkan regulasi bagi dunia usaha yang belum melakukan pelarangan pekerja anak. Serta perlunya kanal pengaduan pekerja anak yang terintegrasi pada mekanisme penyelesaian persoalan ketenagakerjaan, sehingga memiliki skema remediasi yang memberi dukungan optimal pada anak;
- Mendorong Kemen PPPA untuk menjadi kementerian yang mengkoordinasikan kebijakan dan melakukan perlindungan pada pekerja anak dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak, serta mendorong penguatan indikator pekerja anak menjadi capaian PKA menuju Indonesia layak anak;
- Kemensos perlu membentuk nomenklatur baru yaitu Pekerja Anak, sebagai salah satu jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial;
- Mendesak Kemendikbudristek dan Kemenag melakukan review dan optimalisasi kebijakan dalam upaya perlindungan anak dari situasi pekerja anak dalam kategori Magang dan PKL dan serta penerimaan hak pendidikan pekerja anak.
b. Kepada pemerintah daerah :
- Mendorong Pemerintah Daerah melakukan perencanaan dan pengalokasian khusus mengenai upaya menghapus pekerja anak disertai peningkatan SDM untuk menjamin kompetensi pelaksanaan di lapangan;
- Disnaker Provinsi perlu melakukan pemutakhiran data, pengawasan yang terstruktur dan berkelanjutan, serta adanya penegakkan regulasi bagi dunia usaha yang belum melakukan pelarangan pekerja anak, serta memastikan pengawasan pekerja anak di dunia usaha dan penegakan pelarangan pekerja anak pada dunia usaha termasuk anak-anak yang terlibat dalam suplly chain (rantai pasok);
- Disdik Provinsi perlu memastikan dunia pendidikan (SMK) melakukan pencegahan dan penanggulangan pekerja anak melalui penguatan regulasi PKL dan Magang yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik sedangkan kebijakan terkait magang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri (syarat magang pasal 9); serta memastikan pemenuhan pendidikan tingkat menengah (SMA)/MA anak-anak yang terindikasi menjadi pekerja anak;
- Mendorong DP3AKB provinsi melakukan fungsi monitoring dan memastikan lembaga layanan serta SDM perlindungan anak memfasilitasi pekerja anak untuk kembali terpenuhi hak-haknya; serta mendorong fungsi koordinasi dan implementasi Kota/Kabupaten dalam capaian KLA dalam yakni klaster 5 tentang menghapus pekerja anak;
- Disnaker Kota/Kab meningkatkan program dan pembinaan SDM tentang larangan pekerja anak;
- DP3AKB Kota/Kabupaten perlu meningkatkan program dan alokasi anggaran khusus mengenai upaya menghapus pekerja anak; meningkatkan fungsi koordinasi dan layanan upaya pencegahan dan penanggulangan pekerja anak; dan memperkuat upaya perlindungan PKA dan optimalisasi indikator KLA mengenai pekerja anak;
- Dinsos Kota/Kabupaten perlu memastikan akurasi data penerima manfaat jaring pengaman nasional, terutama bagi keluarga yang memiliki pekerja anak.
c. Kepada Lembaga masyarakat dan pegiat perlindungan anak :
Mendorong lembaga masyarakat, pengawas, dan lembaga layanan terlibat dalam pendampingan, pelaporan, penyediaan layanan dan pengawasan pekerja anak; serta Mendorong lembaga pendamping di masyarakat agar menjadi bagian masyarakat sipil yang terlibat dalam memberikan masukkan kebijakan dan program Pemda untuk bekerjasama dalam upaya – upaya penanggulangan pekerja anak kerja sama dalam menghapus pekerja anak; Memastikan lembaga pendamping menjadi aktor IBPA dan memiliki standar kelembagaan yang dikuatkan oleh Pemda; dan Lembaga pendamping menjadi pioneer atas pencegahan dan penanggulangan pekerja anak sekaligus menjadi katalisator peran-peran pemerintah daerah dalam penanggulangan pekerja anak.
d. Kepada media:
Mendorong media menjalankan tugas dan fungsinya dalam perlindungan anak yakni melaksanakan penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak; memastikan media menjadi bagian penting pengawasan tentang upaya menghapus pekerja anak; dan mendorong kerja sama strategis antara media dengan Pemda untuk peningkatan SDM dan profesionalitas media dalam upaya menghapus PA pekerja anak dan perlindungan anak secara umum.
e. Kepada dunia usaha:
Perusahaan perlu melakukan sosialisasi kepada jajaran staf maupun pihak-pihak lainnya terkait adanya kebijakan/peraturan larangan mempekerjakan anak termasuk menginformasikan tentang PA, Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) dll; mendorong perusahaan membangun sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pekerja; mendorong perusahaan untuk memastikan pencegahan pekerja anak di sepanjang jalur rantai pasok Perusahaan; mendorong perusahaan untuk membangun standar prosedur operasional mengenai penghapusan pekerja anak di lingkungan Perusahaan; dan mendorong perusahaan untuk merumuskan program Tanggung Jawab Sosial atau corporate social responsibility (CSR) yang berfokus pada pemenuhan hak-hak anak.
f. Kepada dunia Pendidikan dan Perguruan Tinggi:
Mendorong Perguruan Tinggi untuk memasukkan materi tentang perlindungan anak (PA,BPTA dll) dalam kurikulum perkuliahan ataupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan mahasiswa di kampus (pembekalan KKN, Pengabdian, dll) ataupun pihak-pihak lainnya; Perguruan Tinggi (PT) penting untuk terlibat aktif dalam mengembangkan model-model kegiatan yang mendukung pencegahan dan penanggulangan PA, BPTA;
KPAI melalui Rakornas ini berharap agar semakin meningkatkanya akuntabilitas dan kualitas hasil pengawasan klaster Perlindungan Khusus Anak juga meningkatnya peran aktif Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan stakeholder terkait sistem perlindungan anak untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan klaster Perlindungan Khusus Anak KPAI tahun 2023, tutup Ai. (Fz/Ed:Kn)
Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 081380890405