Rutinitas Berat Picu Kekerasan

BICARANYA tegas dan penuh semangat saat membahas persoalan anak. Ia dikenal sangat vokal dan kerap diburu jurnalis yang membutuhkan komentar terkait isu kekerasan terhadap anak.

Itulah cap yang melekat pada sosok Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda Iswanto. Anggota KPAI periode 2014—2017 ini datang ke Lampung sebagai salah satu pembicara dalam seminar bertema Membentuk anak yang sehat secara seksualitas di Sekolah Darma Bangsa, Sabtu (2/4/2016).

Erlinda berbicara banyak tentang kasus kekerasan terhadap anak-anak. Ia juga menyoroti keluarga, sekolah, dan lingkungan yang kerap tidak mendukung tumbuh kembang anak. Menurutnya, kontrol orang tua yang minim, pendidikan agama yang sangat kurang, faktor lingkungan yang memberatkan anak, seperti pelajaran dan rutinitas yang sangat berat, menjadi faktor yang memicu terjadinya kekerasan.

Perempuan kelahiran Palembang, 11 Maret 1978 ini juga menyinggung keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) di Lampung yang kondisinya mati suri. Penyebabnya karena terkendala anggaran dan juga ketidakmampuan petinggi KPAID dalam memberantas kekerasan terhadap anak.

Wartawan Lampung Post Setiaji B Pamungkas mewawancarai Erlinda Iswanto usai seminar yang berlangsung di Gedung Sekolah Darma Bangsa. Wawancara berlangsung singkat karena mantan Sekretaris KPAI ini harus kembali ke Jakarta. Berikut hasil wawancara dengan Erlinda:

Kekerasan atau bullying terus terjadi di sekolah. Bahkan ada siswa yang jadi korban kekerasan temannya di sekolah hingga meninggal dunia. Bagaimana KPAI melihat fenomena ini?

Bullying terjadi akibat perhatian secara personal sangat minim, baik dari orang tua maupun guru. Dampak jangka panjang dan pendek akibat bullying tak lain ya si anak akan menjadi korban trauma yang dalam. Dia akan ketakutan kembali ke lingkungan sosialnya dan anak tersebut akan mengalami fase di mana dia merasa sebagai anak yang bodoh sehingga membuat konsep hidupnya terganggu.

Apabila hal tersebut dibiarkan tanpa ada penanganan secara berkala, ada disfungsi sosial dan trauma yang berkepanjangan. Bahkan ia bisa jadi pelaku bullying. Juga akan dendam dan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, tapi orang lain.

Apa yang salah sehingga bullying terus terjadi?

Yang salah adalah orang tua dan guru. Tidak ada respect pada diri si anak, sebab karakter fundamental belum dibangun. Seharusnya pembentukan karakter dasar harus dibangun secara persuasif.

Contoh tiba-tiba seorang anak meminjam pensil tapi tak izin, maka guru harus memberikan pelajaran bahwa hal tersebut kurang tepat. Sebelum mengambil barang orang lain harus izin terlebih dahulu.

Selain itu, peran pemerintah harus ditingkatkan karena telah lahir peraturan menteri tentang anti-bullying. Peran pemerintah yaitu harus memfasilitasi anak bangsa dengan melakukan penyaluran bakat yang sesuai keinginan anak maka ketahanan anak akan tercipta.

Adakah yang salah dengan sekolah sehingga kekerasan tumbuh di intitusi pendidikan?

Untuk mendidik lewat peraturan yang dibuat perlu melibatkan anak dalam proses pembuatannya. Mereka juga harus diajarkan agar respek kepada orang lain. Guru dan sekolah perlu menggali potensi dalam hal pelaksanakan peraturan itu dan perbanyaklah melakukan kegiatan minat bakat.

Apa penyebab terjadinya kasus kekerasan anak?

Tentu kontrol orang tua yang minim, pendidikan agama yang sangat kurang, faktor lingkungan yang memberatkan anak, seperti pelajaran dan rutinitas yang sangat berat.

Berapa banyak kasus kekerasan anak dan bagaimana KPAI menanganinya?

Total sangat banyak ada 6.000 kasus sejak tahun 2010 sampai 2015. Dan kami sangat prihatin melihat ini. KPAI tak mampu bekerja sendiri, tetapi kerja sama antarsektor perlu dibangun. Pemerintah, masyarakat, orang tua, sekolah, guru, dan lingkungan punya peran yang sangat besar dalam tumbuh kembang anak.

Nantinya melalui polresta, polsek bahkan di babinkamtibmas dan babinsa TNI akan memberi pemahaman kepada masyarakat hingga lapisan bawah terkait masalah kekerasan seksual dan bahayanya.

Baru-baru ini KPAI mengeluhkan maraknya kampanye LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang menyasar anak-anak. Apa sebetulnya yang terjadi?

Kita tahu bahwa LGBT adalah gangguan kejiwaan dan harus dikampanyekan bahwa itu sangat membahayakan karena bertentangan pada moral, agama akhlak, dan kesehatan jiwa juga fisik manusia. Kita harus ingatkan kepada semua orang tua.

Bagaimana upaya membentengi keluarga dari LGBT?

Kita kuatkan pemahaman agama, moral, etika, dan akhlak sebagai fondasi untuk memperkokoh diri dari upaya doktrin LGBT sehingga nantinya pada saat anak-anak terpapar pengaruh LGBT mereka bisa terproteksi .

Anda menyosialisasikan Pandawa Care. Apa sebetulnya program ini?

Pandawa Care adalah salah satu situs untuk masyarakat yang ingin berbagi ilmu dan mencari tips dalam melakukan pengasuhan terhadap anak. Saat ini di era digital dan ada aplikasi positif yang bisa dipakai, Pandawa Care (www.pandawa-care.com). Contohnya pusing saat menghadapi anak dan di Pandawa Care ada tipsnya.

Jika ada musibah anak kita diculik kita bisa men-tracking keberadaan. Pandawa Care paling tidak menjadi salah satu alternatif dan kita maksimalkan gadget untuk hal yang bermanfaat. Situs ini juga bisa diakses semua pihak.

Harapannya Pandawa Care bisa jadi solusi di masyarakat umum, khususnya di Lampung. Situs ini memiliki berbagai tips. Misalnya memfasilitasi minat dan bakat anak di dunia entertainment.

Bagaimana Anda melihat peran KPAID di Lampung?

Sebenarnya KPAID sudah ada di Lampung, tetapi mati suri karena terkendala anggaran juga ketidakmampuan petinggi KPAID dalam memberantas kekerasan terhadap anak.

Namun, kami berharap KPAID Lampung tetap hadir melalui APBD. Kami akan melakukan komunikasi kepada Pak Gubernur M Ridho Ficardo. Sebelumnya kami sudah sosialisasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Pak Heri Sulityo sangat apresiasi dan mendukung adanya KPAID.

Exit mobile version