RUU Kesehatan: Gerbang Penentu Intervensi Pemenuhan dan Perlindungan Anak

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra dalam FGD Ruu Kesehatan

Jakarta, – Penting dilakukan analisis dan kajian yang komprehensif atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan tujuan memperkuat keterlibatan publik, menampung aspirasi dan mengakomodir berbagai ketentuan yang dianggap penting dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. RUU Kesehatan yang saat ini telah disusun belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan masyarakat khususnya kelompok inklusif dalam hal ini, anak dan penyandang disabilitas.

Pengawalan dan kerja legislasi yang telah dilakukan para anggota DPR RI yang membidangi kesehatan dan pemerintah harus terus di dukung. KPAI memastikan sampai dengan ketok palu pengesahan nanti agar terwujud hadirnya produk legislasi demi kepentingan terbaik bagi anak serta menghindarkan kondisi pengabaian terhadap hak dan perlindungan anak di bidang kesehatan.

Penanggung Jawab, Koordinator dan Anggota POKJA

Untuk itu, KPAI membentuk Kelompok Kerja (POKJA) RUU Kesehatan yang merupakan gabungan berbagai disiplin Ilmu demi kepentingan terbaik bagi anak. Pokja tersebut terdiri para Anggota KPAI, akedemisi, para ahli kesehatan, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada advokasi bidang kesehatan serta para individu yang memiliki keilmuwan penting dalam pengawalannya di bidang kesehatan.

Hak kesehatan anak adalah isu yang sangat penting dalam kluster yang tertuang dalam konvensi hak anak. Hal ini tidak boleh diabaikan karena sampai hari ini kita masih diperlihatkan dengan berbagai kasus yang terjadi. Salah satunya, ibu melahirkan yang belum terlayani tenaga kesehatan, kemudian temuan obat sirup yang menjadi penyebab gagal ginjal anak yang penanganannya belum maksimal. Selain itu, kasus keterlambatan imunisasi lengkap pada anak yang menyebabkan penyakit padahal harusnya bisa dicegah, tutur Ketua KPAI Ai Maryati Sholihah dalam sambutannya saat menghadiri FGD di Jakarta pada, Kamis (11/05/2023).

Kemudian fasilitas kesehatan kita yang belum menunjang seperti ibu yang harus mendapatkan penanganan persalinan segera namun masih ditandu, kemudian kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) terkait aborsi karena kejahatan seksual, traficking, perdagangan orang, eksploitasi, lanjutnya.

Lebih lanjut Ai menjelaskan bahwa seperti yang KPAI langsung awasi dalam mendampingi anak hamil dari korban TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang masih sulit mendapatkan akses hak aborsi secara sehat, kemudian ketika lahir pun anak tidak tahu siapa ayah biologisnya, sementara ibunya yang notabene anak dalam keadaan depresi saat persalinan, itu benar terjadi.

Tentu ini semua bukan yang semestinya harus terjadi pada anak. Untuk itu penting dibentuknya POKJA agar ada perspektif yang tajam dalam mengkritisi RUU, ini sangat krusial. Tentu kita akan menyampaikan beberapa hal ini di DPR RI, kita menyaring usulan dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat, tegas Ai.

KPAI mendukung konsistensi 5 tujuan politik RUU Kesehatan yang disampaikan DPR RI, yaitu peningkatan akses dan pemerataan, hak layanan berkualitas dan terjangkau, koordinasi dan sinergi penyelenggara, keamanan, pengembangan teknologi dan inovasi.

Kemudian Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 44 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Yang penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan didukung oleh peran serta masyarakat. Dengan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Dengan catatan bila menemukan keluarga yang tidak mampu diselenggarakan secara cuma-cuma. Demikian bunyi lengkap pasal 44 yang terdiri dari 4 ayat tersebut.

Serta memperhatikan mandat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 Ayat 2 yang menyatakan bahwa KPAI memiliki tugas memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak. Sehingga KPAI menjadi lembaga yang terus menerus diharapkan memastikan produk legislasi memiliki perspektif perlindungan anak.

Sementara itu, Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Eva Devita Harmoniati menyampaikan karena anak bertumbuh dan berkembang maka segala hal sekecil apapun yang dilakukan akan berdampak panjang.

Sebagai gambaran, saat ini kasus mall nutrisi cukup besar, walau survey Gizi 2022, angka stunting menurun 21%, tapi sebenarnya dalam praktek sehari-hari para dokter masih banyak menemukan kasus under weight atau kurus, dan jika tidak di intervensi akan menjadi stunting. Sehingga situasi ini akan mempengaruhui ketahanan tubuh, karena nutrisi yang tidak cukup, daya tahan tubuh menurun, kekuatan otot menurun, sehingga motorik terganggu, sehinga kecerdasan melambat. Hal ini terbukti dalam penelitian, anak yang mengalami stunting akan berdampak pada IQ yang lebih rendah, lanjutnya.

Bahwa kalau ditanya apakah ada hubungan stunting dengan disabilitas, tentu ada hubungannya. Tapi disabiltias yang mana? Yaitu disabilitas intelektual. Karena ketika mengalami stunting ada delay, tidak hanya motorik, kemampuan berbahasa dan pemahamannya berkurang dan anak mengalami stunting. Tidak tertangani dengan baik dimasa emas, di 2 tahun pertama, terhitung sejak dari saat mengandung, maka akan berdampak pada permasalahan ketika disekolah seperti tidak bisa mengikuti sekolah, mengalami bullying di berbagai tempat, dan terlibat berbagai macam gangguan perilaku dan kenakalan remaja, tegas Eva.

Isu omnibus law di Negara maju sudah dilakukan yakni dimana mengumpulkan berbagai Undang Undang sejenis. Dalam RUU Kesehatan ini ada 13 UU yang akan dikumpulkan. Untuk itu, 13 UU yang akan di jadikan satu tersebut penting agar mengacu pada UU Perlindungan Anak yang menyampaikan kewajiban pemerintah dan pemerintah pusat pada setiap anak agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan, tutur Wakil Ketua KPAI Jasra Putra yang turut hadir dalam FGD tersebut.

Oleh karena itu ada 2 hal yang perlu di pastikan, pertama kepastian hukumnya, Kedua bagaimana dampak bagi pengguna hukum terkait kesehatan terutama anak-anak Indonesia lanjut Jasra.

Karena telah banyaknya penemuan dan inovasi dunia kesehatan terutama aspek promotif, preventif yang telah berhasil mengantisipasi dalam upaya mencegah pertumbuhan anak yang kurang optimal. Sehingga masa emas ini perlu menjadi prioritas, melalui RUU Kesehatan maka akan menjadi pintu awal dalam menentukan keberhasilan Negara dalam melindungi anak, tentunya agar tidak menimbulkan dampak jangka panjang dan sistemik pada penyelenggaraan perlindungan anak, tutup Jasra.

FGD yang membahas tentang pembahasan Pokja analisis pemenuhan hak dan perlindungan anak dalam rancangan undang-undangan kesehatan tersebut dihadiri oleh Penanggung Jawab, Koordinator dan Anggota POKJA  sebanyak 16 orang. (Ed: Kn)

Humas KPAI – 081380890405

Exit mobile version