Jakarta- Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) digadang-gadang mampu menjadi solusi untuk menekan laju perkembangan kekerasan seksual.
Namun, Ketua Divisi Sosialisasi Komas Perempuan dan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda sanksi dengan RUU PKS tersebut.
“Apakah bisa menjamin menekan kekerasan seksual? Saya rasa tidak. Contohnya, ada UU Perlindungan Anak tapi masih banyak anak-anak yang terlantar dan menderita. Kalau dikatakan, RUU ada poin tentang pencegahan, di UU Perlindungan Anak juga ada,” kata Erlinda.
Erlinda menjelaskan, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan RUU PKS saja. Tapi juga harus memaksimalkan undang-undang yang ada, seperti UU Perlindungan Anak, Tindak Perdagangan Orang, Pornografi dan lainnya.
Meski RUU PKS sudah masuk dalam program nasional, namun Erlinda ragu bila RUU tersebut akan rampung dengan segera. RUU PKS masuk dalam antrean 167, tidak termasuk prolegnas prioritas.
“Saya mendukung RUU PKS, tapi saya enggak mau berpolemik. Itu pasti akan lama, apa tahun depan akan selesai? Harus ada komitmen bersama antara DPR dan pemerintah. Belum tentu akur,” jelas Erlinda.
Erlinda menilai, RUU PKS penting, namun upaya pencegahan kekerasan seksual jauh lebih penting. Erlinda menuturkan, baik anak ataupun orang tua harus diberi pemahaman dini terkait kekerasan seksual.
“Orang tua harus harus mengasuh anak dengan perilaku sopan dan manusiawi. Sedangkan anak harus diberitahu bagimana cara menangani stres, sendiri, dan marah,” beber Erlinda.
Dalam draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tercatat ada 12 bab dan 145 pasal yang sudah diajukan. Poin-poin penting di dalam RUU itu di antaranya termasuk soal definisi kekerasan seksual, tindak pidana kekerasan seksual, pemenuhan hak korban, hingga rehabilitasi pelaku.
Masih dalam draft itu, undang-undang ini memiliki tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, meliputi; melindungi dan memulihkan korban, pendamping, keluarga, dan komunitas; menindak dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan tanggung jawab negara dan korporasi; mewujudkan kewajiban keluarga, komunitas dan masyarakat; serta mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Sayangnya, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di parlemen tidak pernah selesai. Bahkan, pada 2015 kemarin RUU itu tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly akan bergerak cepat mendorong RUU masuk daftar prioritas. Selain mengusahakan RUU ini lolos di parlemen, pemerintah juga akan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.