Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI

BANDUNG – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, mengatakan kejadian mengenai siswa yang jarinya harus diamputasi, hingga siswa yang ditendang sampai meninggal, menjadi gambaran ekstrem dan fatal dari intimidasi bullying fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman-temannya pada Februari 2020.

Fenomena kekerasan, katanya, adalah fenomena saat anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik, bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian.

“Luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya kepada anak sehingga menjadi pelaku bullying,” kata Jasra melalui ponsel, Sabtu (8/2/2020).

Oleh karena itu, kata Jasra, semangat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam melihat anak-anak yang melakukan kejahatan, dalam hukum bukan sebagai subyek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya.

Selain itu pasal 9 Undang Undamg nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak dalam ayat (1a) menyatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.

KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.

“Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es. Sama seperti pernyataan Presiden pada ratas (9/1/2020) melalui Data SIMFONI PPA. Bahkan Januari sampai Februari kita terus setiap hari membaca berita dan menonton fenomena kekerasan anak. Tentunya ini sangat disadari dan menjadi keprihatinan bersama,” katanya.

Kalau melihat skala dampak yang disebabkan dari tiga peristiwa tersebut, katanya, hal ini memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal.

“Meski secara fisik dan daya belajar anak baik bahkan memiliki prestasi. Namun ketika menghadapi realitas, anak anak tidak siap. Sehingga terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental yang dapat bereaksi agresif seperti bullying. Umumnya bullying adalah perbuatan berulang-ulang yang dilakukan anak,” katanya.

Pemicunya, menurut Jasra, sangat banyak karena kontrol sosial masyarakat yang berubah menjadi lebih agresif dan cepat, sangat mudah ditiru oleh anak. Begitupun sikap represif yang berulang-ulang.

“Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial. Dan itu kisah yang berulang, karena bisa diputar balik kapan saja oleh anak, tidak ada batasan untuk anak-anak mengkonsumsinya kembali,” katanya.

Sayangnya kondisi yang mengganggu anak tersebut tidak banyak penyaringannya bila terjadi di sosial media, keluarga, sekolah dan lingkungan. Meski sudah ada guru dan orang tua, juga guru konseling, namun lebih nampak perannya saat terjadi kekerasan di sekolah.

“Fenomena paparan kekerasan sangat represif masuk ke kehidupan anak dari berbagai media. Tentunya fenomena zaman ini, ada kebutuhan sekolah untuk membaca kondisi kejiwaan setiap siswanya,” ujarnya.

“Perlu ada upaya lebih serius dan personal dirasakan setiap anak, dalam upaya membaca dan mencegah gangguan perilaku. Kisah anak SMPN 147 Cibubur yang lompat dari lantai atas sekolahnya menjadi pelajaran dunia pendidikan kita,” katanya.

Sebenarnya, ujar Jasra, sudah ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun perlu ada upaya luar biasa dengan masifnya paparan kekerasan, dengan menyiapkan psikolog.

Dalam UU Perlindungan Anak, pengobatan kesehatan anak secara komprehensif dilakukan baik melalui promosi, rehabilitasi, dan pengobatan. Dengan maraknya fenomena bullying menjadi kesempatan implementasi pasal 44. 

“Di mana pada ayat 1 dinyatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan,” katanya.

Sedangkan pada ayat 4 dinyatakan upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan secara percuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang kesehatan penanganan anak tersebut harus dilakukan secara tuntas.

Dengan peran para psikolog yang memiliki metode yang baik dalam membaca kejiwaan anak dengan metode menulis, menggambar, wawancara, dan pendekatan personal dalam mengambarkan kejiwaan anak anak, dapat membantu sekolah, guru konseling dan orang tua menyelamatkan anak-anak mereka dari bullying.

 

Sumber: https://jabar.tribunnews.com

Exit mobile version