SEJUMLAH REKOMENDASI DISEPAKATI DALAM RAKOR PENGAWASAN PERLINDUNGAN KHUSUS ANAK 2023

Rapat Koordinasi dengan tema “Menuju Indonesia Emas Bebas Kekerasan Terhadap Anak”

Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Rapat Koordinasi Klaster Perlindungan Khusus Anak Hasil Pengawasan KPAI Tahun 2023, dengan tema “Menuju Indonesia Emas Bebas Kekerasan Terhadap Anakdi Hotel Ibis Style Bekasi, (22-24 November 2023).

Rapat Koordinasi ini dibuka langsung oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah didampingi Wakil Ketua Jasra Putra dan Anggota KPAI Kawiyan, Diyah Puspitarini, Dian Sasmita,  Margaret Aliyatul Maimunah serta Kepala Sekretariat Dewi Respatiningsih. Sebagai penanggap turut hadir pula perwakilan dari UNICEF Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemuda dan Olahraga serta International Labour Organization (ILO). Hadir juga peserta dari lintas sektor di ruang offline juga online melalui zoom.

“Dalam tiga tahun terakhir, berdasarakan temuan baik data maupun analisis KPAI menujukan  fluktuasi terkait data kekerasan, khususnya data anak korban kekerasan seksual menjadi data tertinggi, sehingga ini yang menjadi kolaborasi aktif antar pemangku kepentingan yang juga saat ini sedang gencar melakukan sosialisasi, baik peraturan perundangan di UU nomor 12 tahun 2022 terkait TIndak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),  juga terkait dengan Perpres untuk kekerasan terhadap anak, bagaimana ini dipastikan menjadi satu kolaborasi aktif dan melahirkan berbagai tujuan bahwa indonesia harus bebas dari situasi kekerasan,” ungkap Ai Maryati saat membuka Rakor.

Selama tahun 2022, KPAI telah menerima 2133 aduan klaster Perlindungan Khusus Anak, di mana kasus yang dilaporkan masyarakat dalam sub klaster Anak Korban Kekerasan Seksual berjumlah 833 kasus, kemudian anak sebagai korban penganiayaan 363 kasus, dan 85 kasus anak korban eksploitasi dan perdagangan. 

Sesuai dengan tugas dan fungsi KPAI dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak, KPAI melaksanakan tugas-tugasnya melalui kelembagaan yang bergerak dalam Divisi Pengaduan dan Mediasi, Divisi Advokasi dan Kelembagaan, Divisi Data dan Telaah Kajian, Divisi Kemitraan, dan Divisi Monitoring dan Evaluasi.

Rapat koordinasi kluster Perlindungan Khusus Anak Hasil Pengawasan KPAI pada hari pertama membahas tiga sub-kluster yaitu Diseminasi Hasil Pengawasan SPPA dan TPKS pada anak, Hasil Pengawasan anak Korban dalam Jaringan Terorisme di 4 Provinsi: Implementasi RAN PE, serta Pengawasan Anak korban Pornografi dan Cyber Crime.

Rakor ini dalam rangka mengkoordinasikan Perlindungan Khusus Anak dengan para pemangku kepentingan juga memberikan rekomendasi serta catatan untuk berbagai kebijakan dan program di tingkat Kementerian/Lembaga.

PENGAWASAN SPPA DAN TPKS PADA ANAK

Data anak baik korban, saksi dan pelaku terus meningkat. Tercatat 1.455 anak pelaku 2021, kemudian ditahun 2022 meningkat menjadi 4.050 (Simfoni KPPPA)

Dian Sasmita dalam paparannya tentang pengawasan SPPA dan TPKS pada anak

Dalam paparannya Dian menyampaikan bahwa ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yakni:(1) Belum tersebarnya UPTD PPA di Kabupaten/Kota untuk menjangkau korban TPKS;(2) UPTD PPA Kabupaten/Kota terkendala dalam menjangkau korban yang tinggal di daerah terpencil;(3) Masih sedikitnya jumlah Psikolog di UPTD PPA Kabupaten/Kota untuk mendampingi korban;(4) Berdasarkan 303 kasus TPKS selama Tahun 2023 (KPAI), ada 3 (tiga) isu utama yang ditemui saat Pengawasan, yakni: a. Belum tersedianya cukup bukti untuk laporan korban diterima oleh Kepolisian; b. Akses layanan pendampingan belum memadai dan terbatas dalam menjangkau korban; c. Kriminalisasi terhadap korban (ancaman/diskriminasi) terhadap korban;(5) Anggaran (Anggaran dari Pemerintah untuk UPTD PPA belum cukup untuk pendampingan dan penjangkauan terhadap korban).

“Untuk itu, dalam rakor ini kita akan menghasilkan sebuah rekomendasi yang lebih kuat dan kritis dan tepat sasaran, sehingga kedepannya ada perubahan situasi dalam penegakan SPPA dan TPKS menjadi lebih baik lagi, dan anak-anak berhadapan dengan hukum apapun status hukumnya mereka korban dan mereka berhak terpenuhi hak-haknya selama proses hukum bahkan pasca,” tegas Dian

Lebih lanjut Dian menambahkan bahwa dalam pelaksanaan Diversi masih terkendala untuk kasus yang ancaman pidananya diatas 7 tahun sehingga tidak mendapatkan penetapan PN (e-terpadu), kemudian juga ditemukan beberapa faktor seperti sosial, ekonomi dan budaya yang menghambat pelaporan dan pengungkapan kasus anak. Juga agar tercipta harmonisasi regulasi terkait SPPA dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sehingga tidak ada pengurangan hak anak pada aturan pelaksana dari undang-undang tersebut.

PENGAWASAN ANAK KORBAN TERORISME 

Terdapat 5 definisi Anak korban jaringan terorisme yakni (1) anak pelaku aksi terorisme; (2) anak yang menjadi korban dengan aksi terorisme; (3) anak yang menjadi korban dengan mendapatkan stigma dari orang tua yang menjadi pelaku aksi; (4) anak yang menjadi saksi dan aksi terorisme; (5) anak yang terinfiltrasi radikalisme.

Sesuai dengan kesepakatan Rencana Aksi KPAI yang bersinergi dengan BNPT, lokus pengawasan anak korban jaringan terorisme yang dilakukan KPAI pada 2023 di 4 Provinsi yakni Kota Palu, Sulawesi Tengah; Kabupaten Lamongan, Jawa Timur; Kota Depok, Jawa Barat; Provinsi NTB. 

Margaret selaku pengampu sub klaster anak korban jaringan terorisme menyampaikan bahwa implementasi pengawasan ini masih sangat terbatas belum mencakup banyak, jadi kita kedepan akan meluaskan pengawasan kepada satu base on pada daerah/wilayah yang berkaitan dengan anak yang menjadi obyek, kami juga berharap bahwa rekomendasi yang kami sampaikan nanti akan ditindaklanjuti oleh BNPT, jelas Margaret.

Ahmad Fauzi, Kepala Seksi Identifikasi Narapidana BNPT yang hadir sebagai penanggap sub klaster ini memberikan rekomendasi kepada KPAI agar bisa mendampingi anak korban terorisme dalam menjembatani anak-anak agar dapat terpenuhi hak-haknya, sehingga mereka bisa terlepas dari stigma. 

PENGAWASAN ANAK KORBAN PORNOGRAFI/CYBERCRIME

Revolusi society 5.0 menekankan pada digitalisasi disemua lini yang ditandai dengan penggunaan teknologi informasi dalam setiap sektor kehidupan. Hal ini tentu memiliki banyak manfaat, tetapi juga ancaman tersendiri untuk anak. Salah duanya adalah meningkatnya resiko cybercrime dan akses pornorgrafi bagi anak. 

Data pengaduan yang diterima KPAI periode Januari-September 2023 sub klaster anak korban pornografi dan cybercrime sejumlah 33 (1,8%). Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Prof.Dr.Henry Subiakto yang menjadi penanggap dalam rakor ini bahwa untuk mengawasi persoalan cyber yang memang bisa membahayakan anak-anak, itu mau tidak mau KPAI harus memberikan rekomendasi atau kerjasama dengan lembaga yang punya kewenangan, agar dapat ditindaklanjuti dengan maksimal, lanjutnya. 

Negara juga setiap orang wajib melindungi anak dari pengaruh pornografi sekaligus aksesnya, mengingat banyak sekali kejadian yang menimpa anak-anak Indonesia yang terpapar pornografi melalui media baru, kata Kawiyan.

Sehingga Perlu adanya peningkatan koordinasi lintas sektor dalam menangani anak korban pornografi ini, tentunya Negara harus berada digarda terdepan untuk menyelamatkan generasi bangsa, tambahnya.

Kawiyan dalam paparannya terkait Pengawasan anak korban pornografi dan cybercrime

Bicara Cybercrime, tentu sangat erat dengan pornografi sebab Pornografi itu big business , karena memang berkaitan dengan eksploitasi ekonomi dan menghasilkan materi. Berbagai persoalan terkait cybercrime atau kejahatan di dunia siber juga pornografi yang semakin erat dan dekat bahkan borderless dengan anak-anak Indonesia sehingga tentunya KPAI sesuai mandatnya terus meningkatkan berbagai upaya dalam pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak, agar anak-anak Indonesia terpenuhi hak serta perlindungannya terutama di dunia siber.

Kesimpulan dari hasil pengawasan anak korban Pornografi dan cybercrime adalah bahwa begitu banyak begitu rawan anak-anak kita yang menjadi korban dari dunia digital, anak-anak kedepan kita bimbing, kita awasi, kita literasi agar mereka benar-benar bisa memahami bahwa dunia digital itu disatu sisi sangat bermanfaat untuk belajar, untuk menggali berbagai informasi positif tetapi disisi lain juga mengandung kerawanan-kerawanan, oleh karena itu memang mereka harus dampingi, kita bimbing, dan kita awasi. 

Harapannya pemerintah dalam hal ini Kominfo dapat terus melakukan upaya menutup semua akses konten yang isinya bermuatan pornografi. Sebab ini menyangkut moral generasi bangsa, tutup Kawiyan.

PENGAWASAN ANAK KORBAN KEKERASAN FISIK DAN/ATAU PSIKIS

Kekerasan yang muncul terhadap anak, saat ini sangat beragam dan tidak hanya berakibat sakit yang bersifat temporan melainkan juga ada kekerasan yang bisa menimbulkan kecacatan fisik dan trauma mental yang dapat berdampak negatif secara permanen. Data pengaduan yang diterima KPAI periode Januari-September 2023 sub klaster anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sejumlah 141 (7,8%). Angka ini merupakah kedua tertinggi pada kasus klaster Perlindungan Khusus Anak. 

Diyah Puspitarini dalam paparannya terkait anak korban kekerasaan fisik dan/atau psikis

Diyah Puspitarini dalam paparannya menyampaikan beberapa temuan KPAI dalam pengawasannya terhadap anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Diantaranya adalah metode kekerasan fisik pada anak yang sangat “brutal”; Terbatasnya Rumah Aman untuk anak korban kekerasan, terutama jika pelaku adalah keluarga; faktor terjadi kekerasan diantaranya perkembangan media sosial; prosedur restitusi yang belum optimal pada anak korban kekerasan; masih terdapat ketakutan pelaporan kekerasan anak pada keluarga, lembaga pendidikan dan institusi lain.

Sehingga Pemerintah dan DPR perlu bersinergi menjadikan perlindungan anak sebagai mainstream pembangunan melalui perbaikan kualitas regulasi, kelembagaan, program dan pendanaan untuk meningkatkan layanan, dan kualitas anak-anak di Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga harus memastikan anak berada dalam pengawasan dan pengasuhan positif baik dilingkungan keluarga, ruang bermain, ruang peribadatan dan lingkungan sekolah untuk menjamin pemenuhan hak dan menghindarkan anak dari kekerasan dan diskriminasi dimanapun anak berada, tutur Diyah. 

“Dalam kesempatan rakor ini saya sebagai pengampu klaster kekerasan fisik dan psikis anak memberikan laporan ekspose hasil pengawasan kami, hasil kunjungan, dan juga analisis kami terhadap kasus-kasus kekerasan fisik dan psikis anak-anak 2023,” kata Diyah. 

Harapan kami tentu saja ini menjadi perhatian kita bersama dan dalam rekomendasi kami berikan penekanan dan juga mendorong berbagai pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan juga seluruh elemen untuk betul-betul menggarap dan juga melakukan pencegahan serta penanganan terhadap kekerasan fisik dan psikis anak, anak-anak kita hari ini adalah pemimpin masa depan sehingga mereka harus terbebas dan mereka harus terlindungan dari kekerasan fisik dan psikis anak, tutup Diyah. 

PENGAWASAN PEKERJA ANAK  

Penurunan pekerja anak menjadi salah satu dari 5 arahan presiden untuk pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak periode 2020-2024. 

Ai Maryati Solihah dalam paparannya terkait pengawasan pekerja anak

Dalam paparannya Ai menyampaikan beberapa catatan dalam pengawasannya yakni: Masalah pekerja anak dalam hubungan industri masih ada kerentanan keterlibatan anak-anak terutama dalam proses rantai pasoknya; Perusahaan belum sepenuhnya  mengatur kebijakan terkait usia minimum (18) yang dapat bekerja di Perusahaan tersebut termasuk pelarangan recruitment anak yang sudah menikah; Rendahnya Kerjasama lintas stakeholder dalam penanggulangan pekerja anak dengan menggunakan pendekatan pentahelix untuk penguatan leading sektor yang berada di Kemenaker RI; Pemerintah Daerah belum optimal dalam menyusun Kebijakan dan Program penanggulangan Pekerja Anak yang terintegrasi untuk mendukung capaian Kota Layak Anak; Dunia usaha belum sepenuhnya berkontribusi dalam upaya penanggulangan Pekerja Anak dengan menerapkan prinsip bisnis yang menghargai hak anak termasuk melakukan remediasi Pekerja Anak; Media belum optimal mempublikasi dan mengkampanyekan isu Pekerja Anak; Keterlibatan perguruan tinggi belum optimal dalam menjalankan fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi terkait isu Pekerja Anak; Masih rendahnya kolaborasi aktif masyarakat dan pendamping dengan pemerintah daerah; Masih lemah terbentuknya jaringan Penanganan dan Lembaga Layanan Pekerja Anak di daerah; Belum masifnya mekanisme pengaduan dan laporan pekerja anak dari masyarakat di tingkat pemerintah pusat dan  daerah  dan ketenagakerjaan.

Beberapa hasil pengawasan menunjukkan bahwa tingginya peraturan daerah yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk perlindungan anak dan kota/kabupaten layak anak, itu belum memiliki rencana aksi daerah yang lebih spesifik terhadap pekerja anak, ini tentu menjadi sebuah kritik bagi kita karena ditengah komitmen dan program-program berkelanjutan pemerintah terkait pelindungan anak isu pekerja anak masih terpinggirkan dan belum optimal, tutur Ai. ini akan kami berikan rekomendasi tentu sebagai respon kami atas arahan pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo untuk menekan angka pekerja anak, tutupnya.

Rakor yang dilaksanakan selama tiga hari ini menyepakati beberapa rekomendasi yang disusun bersama stakeholder terkait. Rekomendasi tersebut meliputi keseluruhan klaster Perlindungan Khusus anak, harapannya semoga rekomendasi yang sudah disepakati bersama, kemudian nanti akan disampaikan oleh KPAI di forum Rakornas pada 29 November mendatang bisa semakin tajam serta dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah, tutup Ai. (FZ/ED:Kn)

Media Kontak : Humas KPAI Email : humas@kpai.go.id WA. 081380890405

Exit mobile version