Setiap anak berhak atas diperlakukan adil, termasuk AG

Anak berhadapan hukum diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak (Pasal 64 UU Perlindungan Anak)

Semangat sistem peradilan pidana adalah menjauhkan dampak buruk peradilan pidana terhadap anak. Sehingga digunakan pendekatan keadilan restoratif yang menganut prinsip proporsionalitas dan menghindarkan pembalasan sesuai amanah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penjatuhan pidana pada anak mendukung pemulihan dan perubahan perilaku anak, bukan dalam rangka memberikan efek jera. 

Oleh karenanya proses peradilan pidana anak bersifat khusus dan berfokus pada masa depan anak. KPAI sepakat dengan proses hukum sebagai aspek pendidikan  dan mendukung tanggung jawab anak atas kesalahannya. Namun proses hukum tersebut harus dipastikan tidak melanggar hak anak dan serius mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

Perkara pidana yang melibatkan anak marak beberapa bulan terakhir, salah satunya adalah anak AG yang tersangkut dalam kasus penganiayaan. Hari ini senin (10/4/2023) hakim di PN Jakarta Selatan telah membacakan putusan terhadap AG dengan pidana 3,5 tahun penjara di LPKA karena terbukti melakukan tindak pidana sesuai pasal Pasal 355 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Subsidair Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Beberapa hal yang menjadi perhatian KPAI terkait persidangan AG adalah sebagai berikut : 

  1. Identitas anak berhadapan hukum wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak dan elektronik. Yang termasuk identitas anak adalah nama, alamat, nama orang tua, nama sekolah, termasuk wajah anak. Berdasarkan hasil pemantauan media, terdapat beberapa media online dan televisi yang mencantumkan identitas anak secara jelas dan rinci terhadap anak dan keluarganya. Praktek ini telah melanggar Pasal 19 UU SPPA dan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda Rp 200.000.000,- (Pasal 97 UU SPPA).
  2. Pemeriksaan anak selama di kepolisian menyita perhatian publik. Tampak kerumunan media yang mencegat AG ketika hendak masuk ke mobil. Keterangan psikolog dan pekerja sosial pendamping AG menyebutkan kejadian tersebut membuat anak trauma. Selain itu, berdasarkan keterangan kuasa hukum, terdapat beberapa surat terdakwa Mario kepada AG yang difasilitasi oknum penyidik menjadi konsumsi publik. Setiap anak yang berhadapan hukum memiliki hak untuk dihindarkan dari publikasi identitasnya dan pemberian kehidupan pribadi (Pasal 7 PP no.78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak). 
  3. General Comment no 24 tahun 2019 dari Komite Hak-hak Anak  menyebutkan putusan di persidangan terbuka namun identitas anak harus tetap dirahasiakan. Pasal 61 UU SPPA mengimplementasikan prinsip tersebut pada anak. Perlindungan identitas anak dijaga serius untuk menghindarkan stigma dan labelling pada anak, karena fokus peradilan pidana adalah koreksi terhadap perbuatan anak bukan untuk balas dendam. Sehingga pembacaan identitas anak di sidang putusan cukup dengan inisial, tanpa perlu membacakan nama lengkap dan alamat anak.
  4. Pertimbangan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka menyebutkan aktivitas seksual anak dengan Mario (terdakwa dewasa) cenderung rinci, bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yakni berperilaku arif dan bijaksana. Dimana hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya  frekuensi labelling pada anak.
  5. Berdasarkan pengawasan KPAI pada saat persidangan dan dikonfirmasi oleh Kuasa Hukum AG bahwa bukti petunjuk berupa analisis pemeriksaan dari psikolog forensik terhadap AG tidak disampaikan di persidangan (nihil). Padahal sebelumnya AG telah diperiksa psikolog forensik sebanyak 3 (tiga) kali. Hasil telaah psikologis anak menjadi penting, selain hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) Bapas, karena dua dokumen tersebut membantu aparat penegak hukum melihat kondisi psikis dan sosial anak secara utuh. Perbuatan anak tidak pernah bebas dari pengaruh di luar dirinya. 
  6. Perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin (Pasal 37 ayat B Konvensi Hak Anak). Data Mahkamah Agung tahun 2020, yang petik dari Peta Jalan Penguatan SPPA 2023-2027, menunjukan 88,61% anak mendapatkan vonis pidana penjara.  Umur kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya UU SPPA memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir. Artinya paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara. Penempatan AG di LPKS selama proses hukum telah tepat karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial. Namun vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA.
  7. Keterbatasan fasilitas LPKA/LPAS bagi anak perempuan berupa belum tersedia blok khusus, maupun petugas pengasuh serta ketiadaan psikolog anak berpotensi menambah beban mental anak. Anak perempuan, termasuk AG, memiliki kebutuhan khusus yang spesifik. Mereka juga membutuhkan role model positif dan ruang gerak yang aman sehingga perlu melibatkan berbagai profesi (konselor, pekerja sosial, psikolog) untuk menentukan tempat menjalani pidananya dan intervensi program rehabilitasinya.

Setiap anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana wajib mendapatkan pemenuhan hak-haknya dan jaminan pelaksanaan persidangan yang layak bagi anak (Pasal 40 ayat 2 Konvensi Hak Anak dan Pasal 3 UU SPPA). Anak yang berhadapan hukum wajib mendapatkan langkah-langkah perlindungan khusus, maka  KPAI memberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Mendesak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DKI Jakarta untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak berhadapan hukum, baik korban, saksi, dan pelaku, untuk mendukung pemulihan anak secara utuh dan berkelanjutan.
  2. Meminta Dewan Pers untuk dapat melakukan peringatan tegas terhadap media cetak dan elektronik yang telah melakukan pelanggaran UU SPPA. Eksploitasi identitas anak berhadapan hukum mengakibatkan dampak luar biasa dan berkepanjangan pada anak tumbuh kembang anak. Serta mengakibatkan trial by press yang jauh dari prinsip kepastian hukum dan perlindungan anak.
  3. Meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim Sri Wahyudi Batubara (Hakim Anak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) secara etik terkait proses persidangan terhadap anak AG yang melanggar beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum.
  4. Meminta Komisi Kejaksaan agar memeriksa jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara kasus AG karena tidak menyertakan hasil pemeriksaan psikolog forensik terhadap anak.
  5. Meminta Komisi Kepolisian Nasional untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak anak selama proses penyidikan di Polres Jakarta Selatan yang mengakibatkan terpublikasinya identitas dan kehidupan pribadi anak sehingga menambah trauma pada anak. SPPA berusaha keras untuk menjauhkan anak dari dampak buruk peradilan pidana.
  6. Sistem Peradilan Pidana Anak bersifat khusus karena mempertimbangkan kondisi anak dan hak-haknya. Paradigma keadilan restoratif wajib digunakan mulai dari tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi termasuk tahap reintegrasi sosial. KPAI mendesak untuk dilakukan peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum terkait UU SPPA dan hak anak agar dikemudian hari tidak ada lagi pelanggaran hak anak berhadapan hukum di semua tahapan proses pidana.

Sistem Peradilan Pidana Anak dengan keadilan restoratif hadir sebagai bentuk komitmen serius negara untuk pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Karena setiap anak berhak untuk kesempatan kedua.


TTD

Ketua KPAI – Ai Maryati Solihah
Wakil Ketua – Jasra Putra
Anggota :
1. D
ian Sasmita
2. Diyah Puspitarini
3. Sylvana Maria
4. Aries Adi Leksono

Exit mobile version