SIDANG HAM 2018 “INTOLERANSI, RADIKALISME DAN EKTRIMISME DENGAN KEKERASAN”

Upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak memerlukan komitmen yang kuat, langkah strategis dan inovasi secara terus menerus agar dapat memenuhi kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi anak. Upaya pemenuhan hak asasi anak dapat dilakukan melalui upaya perbaikan kebijakan perlindungan anak. Salah satu upaya perbaikan kebijakan dilakukan dengan advokasi kesemua level pemangku kepentingan, yaitu melaksanakan Sidang HAM. Komisioner KPAI, Putu Elvina yang menjadi penanggungjawab Sidang HAM tahun 2018 mengatakan bahwa “Sidang HAM merupakan ikhtiar dan siasat untuk mempercepat advokasi bersama ketiga lembaga dalam menjalankan mandatnya, salah satunya dengan merancang mekanisme nasional yaitu “Sidang HAM”, sebagai ruang bersama untuk menyikapi persoalan HAM di Indonesia yang dititikberatkan pada diskursus bagaimana mencari solusi secara bersama dengan semua pihak yaitu korban, organisasi pendamping dan publik serta penyelenggara negara di tingkat pusat maupun daerah”. Sidang HAM diharapkan sebagai ruang interaktif untuk mendengarkan suara korban dari berbagai konteks kasus dan peristiwa, baik pelakunya negara (state actors) maupun sektor privat (non state actors). Sidang HAM ini dilaksanakan oleh 3 Lembaga Ham Nasional atau NHRI (National Human Rights Institutions) yaitu Komnas HAM, KPAI dan Komnas Perempuan.
KPAI dalam Sidang HAM yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 22 Nopember 2018 membahas fenomena radikalisme yang terjadi pada anak dengan latar belakang keluarga, pola pengasuhan dan pendidikan yang beragam yang kemudian mengkerucut pada pendidikan yang mengarah kepada paham radikal baik melalui narasi dan propaganda, maupun indoktinasi ajaran radikalisme sampai mengarah pada eskalasi yang lebih tinggi yaitu pelibatan anak dalam aksi terorisme yang baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kejadian yang menunjukan bahwa anak dilibatkan dan memiliki keterlibatan dalam aksi terorisme antara lain pada Januari 2016, seorang anak terlibat dalam serangan bom di Thamrin Sarinah. Kejadian penyerangan seorang pastur di gereja Santo Yosef Medan pada Agustus 2016 yang melibatkan seorang anak usia 16 tahun sebagai pelaku menyadarkan kita bahwa seorang Anak menjadi pelaku tunggal tindak pidana terorisme. Seorang anak (16 th) di Sukabumi diketahui sudah menjadi perakit bom asap dan sudah mengalami proses radikalisasi diantaranya melalui sosial media sejak belia. Kejadian tindak pidana terorisme yang terakhir terjadi di tiga gereja di kota Surabaya pada tanggal 13-14 Mei 2018 yang menyebabkan 7 anak dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur. Ketiga anak tersebut terdiri dari 3 (tiga) anak terduga teroris di Rusun Wonocolo Sidoarjo, 3 (tiga) anak terduga teroris yang ditangkap di jalan Sikatan dan 1 (satu) anak terkait dengan bom di depan kantor Polrestabes Surabaya. Dalam sambutannya Ketua KPAI, Dr.Susanto menyatakan bahwa penanganan aksi terrorisme yang melibatkan anak harus dilakukan secara serius dengan upaya pencegahan melalui edukasi. Sementara itu hasil pengawasan KPAI terkait keterlibatan anak dalam radikalisme dan aksi terorisme di 4 wilayah pengawasan yaitu di Deli Serdang, Poso, Surabaya dan LPKA Tangerang. Hasil rumusan yang disusun oleh Tim Perumus KPAI pada Sidang HAM Ibu Rita Pranawati dan Ibu Ai Maryati bersama dengan tim perumus lain dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan akan dijadikan sebagai rekomendasi tindak lanjut pemantauan oleh 3 Lembaga HAM Nasional tersebut.

Exit mobile version