SINERGI LPSK, KPAI DAN KEMENPPPA DALAM MEMASTIKAN PEMENUHAN HAK RESTITUSI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA

Dok: Humas KPAI

Makassar,- Perlindungan dan pemenuhan hak atas Restitusi bagi anak korban tindak pidana dan kekerasan seksual perlu ditingkatkan. Resitusi berperan sebagai salah satu bentuk upaya pemulihan yang diberikan oleh pelaku atas dampak tindak pidana yang dialami oleh anak korban. Untuk itu, Aparat Penegak Hukum (APH) wajib menginformasikan/memberitahukan hak Restitusi sejak awal kepada korban dan melakukan pengajuan Restitusi pada proses hukum.

Selanjutnya, Lembaga pendamping seperti UPTD PPA/P2TP2A, KPAD didorong untuk memastikan pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan menginformasikan hak atas Restitusi kepada anak korban, keluarga dan APH.

Data anak binaan yang berhadapan Hukum atau Andikpas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Maros saat ini terdata sebanyak 66 anak dari berbagai kasus. Untuk itu, dipandang perlu upaya untuk menjamin hak-hak anak korban tindak pidana. Mari bersama-sama untuk dapat melakukan pemetaan mengenai kendala praktik pemberian Restitusi, kompensasi, dan bantuan bagi anak korban tindak pidana di tingkat APH dan pendamping. Serta merumuskan rekomendasi yang tepat demi pemenuhan dan perlindungan anak, ucap Sekretaris DP3A-Dalduk KB Aryani Aruji pada saat pembukaan Focus Group Discussion (FGD) pada, Rabu (15/03/2023) di Hotel Santika Makassar.

Dok: Humas KPAI

FGD yang membahas terkait pemenuhan hak restitusi anak korban Tindak Pidana dan Kekerasan Seksual tersebut merupakan sinergi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). FGD dilaksanakan selama 2 hari pada (15-16/2023).

Peserta yang hadir pada hari pertama, Rabu (15/03/2023) adalah para penyidik unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) di jajaran Polda Sulsel, Dinas Pemberdayaan Perempuan, perlindungan anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-Dalduk KB) Prov/Kota/Kab, Perwakilan Kanwil Kemenkumham. Kemudian, peserta hari kedua, Kamis (16/03/2023) terdiri dari unsur kejaksaan dan pengadilan.

Hadir sebagai narasumber Deputi Perlindungan Khusus Anak, Nahar, Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, dan Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar, Sekretaris DP3A-Dalduk KB Aryani Aruji, Perencana Ahli Muda Kemen PPPA Didiek Santoso, serta moderator Tenaga Ahli LPSK Amalia Mahsunah.

Amanat pemenuhan hak restitusi anak korban tertuang dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 71D ayat (1) Setiap anak yang menjadi korban AMPK (Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus) pada pasal 59 ayat 2 yakni (anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang menjadi korban pornografi, anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau anak korban kejahatan seksual) berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggungjawab pelaku kejahatan. Kemudian penjelasannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana, bahwa Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.

Dalam konteks kekerasan seksual, Restitusi telah mendapat penguatan, diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 30 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.” tutur Ai Maryati.

Lebih lanjut Ai menjelaskan bahwa menjadi tugas KPAI dalam pengawasan terhadap anak korban Tindak pidana, termasuk kekerasan seksual di dalamnya. KPAI memastikan proses pendampingan, pemulangan, reintegrasi, Restitusi, partisipasi dan pemberdayaan anak dalam penanganan rehabilitasi dan psikososial anak korban serta pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan anak yakni hak kesehatan, hak pendidikan dan hak pengasuhan alternatif. Selain itu KPAI juga memastikan APH dalam penegakan hukum serta proses hukum yang berkeadilan bagi anak korban, lanjutnya.

Menjadi catatan bersama, bahwa belum samanya pemahaman APH dalam hal ini penyidik kepolisian terkait mekanisme pengajuan berkas Restitusi korban di tingkat penyidikan sebelum diserahkan kepada kejaksaan serta pemahaman Hakim Anak dalam proses pengabulan Restitusi bagi korban.

Untuk itu, diperlukan intervensi berupa sinergi dan kolaborasi antara APH, Kementerian/Lembaga dan stakeholder terkait untuk mendorong terwujudnya komitmen bersama dan rekomendasi sebagai upaya penguatan advokasi perlindungan anak dalam pemenuhan hak Restitusi anak korban tindak pidana, ucap Nahar.

Peran LPSK dalam memenuhi hak korban atas restitusi adalah membantu menghitung jumlah kerugian yang diderita korban sesuai dengan bukti yang ada.

Setelah dihitung, lalu diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum, untuk dimasukkan ke dalam tuntutannya yang kemudian diputuskan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkaranya, tutur Livia Iskandar.

Jika hakim tidak menemukan permohonan Restitusi tersebut maka, hakim melalui penuntut umum atau pendamping dapat memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau proses persidangan, lanjutnya.

Sinergi dan kolaborasi LPSK, KPAI dan KPPPA menjadi penting dalam pemenuhan hak korban. Restitusi sebagian dari hak korban, untuk itu Restitusi membutuhkan kerjasama dan koordinasi antara anak korban, orang tua/pendamping/penyidik/penuntut umum serta unsur pengadilan karena Restitusi merupakan salah satu bentuk upaya pemulihan yang diberikan oleh pelaku atas dampak tindak pidana yang dialami oleh anak korban.

Harapannya, ada rekomendasi dan solusi dalam menyelesaikan berbagai isu kekerasan seksual agar korban mendapatkan hak-haknya terutama hak restitusi demi kepentingan terbaik bagi anak demi masa depannya, tutup Didiek.

REKOMENDASI
Beberapa rekomendasi yang disepakati dalam FGD:

  1. Mekanisme pengajuan restitusi dapat dilakukan melalui APH (Penyidik,Penuntut Umum, dan Hakim atau pihak terkait yang berwenang kepadaLPSK;
  2. Korban/Keluarga mengajukan permohonan ke LPSK, yang dapat dilakukan oleh diri sendiri, Keluarga dan/atau Kuasa Hukumnya dengan dilengkapi dokumen – dokumen yang dibutuhkan, berkas diajukan ke Penuntut Umum untuk dimuat dalam tuntutannya;
  3. Lembaga pendamping seperti UPTD PPA/P2TP2A,KPAD memastikan pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual termasuk menginformasikan hak atas restitusi kepada anak korban, keluarga dan APH;
  4. APH wajib menginformasikan/memberitahukan hak restitusi sejak awal kepada korban serta Mendorong APH melakukan pengajuan restitusi pada proses hukum, untuk memastikan pemenuhan hak restitusi;
  5. Mendorong Polri membuat surat edaran/instruksi tertulis kepada kepolisian di daerah mengenai kewajiban untuk menginformasikan kepada korban tentang permohonan restitusi.
  6. Pentingnya upaya penyadaran pada Aparat Penegak Hukum (APH), UPTD PPA dan masyarakat tentang pentingnya pemenuhan hak restitusi bagi anak korban tindak pidana dan kekerasan seksual;
  7. Kasus kekerasan seksual dengan korban anak, merupakan delik biasa yang tidak dapat dicabut pelaporannya dan harus terus berjalan proses hukumnya;
  8. Pentingnya kerjasama APH dengan LPSK dalam percepatan penghitungan restitusi bagi pelaku anak yang diajukan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
  9. Mendorong LPSK untuk melakukan percepatan sistem aplikasi permohonan/pengajuan restitusi agar tidak terjadi keterlambatan;
  10. Memastikan anak korban tindak kekerasan seksual terpenuhi hak atas restitusi, maupun skema dana bantuan korban dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban;
  11. Mendorong hakim untuk memberikan putusan pemberian restitusi tanpa pemberian pidana subsider, khususnya bagi kasus-kasus yang membutuhkan pendekatan tertentu;
  12. Untuk Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) harus dipastikan latar belakang keluarganya, dalam menjadikan pertimbangan atas pemenuhan restitusi terhadap anak korban. (Kn/Ed:Ams,Dr)

Humas KPAI – 081380890405

Exit mobile version