Stunting Tinggi, Ini Upaya Para Ahli Cegah Gizi Buruk Anak

JAKARTA – Para ahli merekomendasikan berbagai upaya dalam mencegah stunting atau gizi buruk anak di Indonesia. Mereka sepakat dibutuhkan kebijakan dan kepedulian bersama untuk mengatasi masalah tersebut.

The Habibie Center merekomendasikan terobosan kebijakan untuk mencegah dan penanganan stunting pada anak dengan merevisi Permenkes No 23 Tahun 2014 dan Permenkes No 51 Tahun 2016.  Poin revisi, meliputi Pemberian Nutrisi Khusus (PKMK) jika terdapat indikasi medis. Kemudian memastikan penggunaan nutrisi khusus di fasilitas kesehatan terbaru dan di bawah pengawasan medis. Untuk detail spesifikasi produk nutrisi khusus mengacu pada Peraturan Kepala BPOM No 1 Tahun 2018 tentang Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus.

Rekomendasi ini disampaikan dalam Talkshow Nasional bertajuk “Terobosan Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Stunting Melalui Pemenuhan Gizi Anak” sebagai bagian dari rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-19 The Habibie Center, kemarin.

Direktur Program dan Riset, The Habibie Center, Mohammad Hasan Ansori Ph.D  berharap talkshow ini berperan sebagai wadah sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam melindungi hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terbaik. “Hal ini sejalan dengan komitmen The Habibie Center untuk meneruskan proses demokratisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia,” ujarnya, dalam keterangan pers yang diterima iNews.id, Jumat (16/1/2018).

Menjawab pertanyaan apakah pemerintah bisa menjamin PKMK sebagai upaya mengatasi stunting? Mantan Sekjen Kemenkes Untung Suseno, yang kini menjadi staf ahli Menkes, mengatakan, seharusnya bisa. “Kami (Kemenkes) sedang mengarah kesana,” katanya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kesehatan, Bidang Teknologi dan Kesehatan dan Globalisasi dr Slamet MHP menjelaskan, Indonesia adalah negara ke-5 dengan jumlah balita tertinggi yang mengalami stunting di dunia. Dari data Riskesdas 2018, jumlah stunting turun sekitar 6 persen dibandingkan 2013. Provinsi paling rendah proporsinya adalah Jakarta, dan paling tinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM), Dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) menyatakan, data hasil Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi balita Indonesia yang mengalami stunting mengalami penurunan. Namun, angka ini masih berada di high prevalence dan masih jauh di atas batas maksimal 20 persen yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Perlunya pengertian yang sama mengenai stunting, di mana stunting adalah pendek, namun tidak semua anak pendek adalah stunting. Hal ini disebabkan asupan nutrisi yang kurang atau kebutuhan nutrisi yang meningkat akibat kondisi kesehatan sub-optimal karena penyakit,” katanya.

“Indikator stunting tidak hanya dilihat dari tinggi badan yang pendek, tetapi juga harus dilihat dari grafik pertumbuhannya menurut usia dan jenis kelamin. Harus ada standar cara pengukuran di seluruh daerah. Tidak mudah menentukan anak apakah stunting atau bukan. Anak stunting adalah jika kondisi pendeknya disebabkan oleh nutrisinya yang kurang,” ujar Damayanti.

Dia memberikan rekomendasi untuk pencegahan dan penanganan stunting. Salah satunya penerapan pola pemberian MPASI yang benar-benar melengkapi semua zat gizi yang sudah tidak terpenuhi oleh asi, terutama energi dan protein hewani. Kemudian pemenuhan kebutuhan pangan keperluan medis khusus untuk kondisi penyakit penyebab stunting.

Associate Fellow, The Habibie Center Dr Widya Leksmanawati Habibie M.M menyatakan, saat ini Indonesia sudah banyak memiliki kebijakan mengenai gizi dan anak, tetapi belum secara spesifik menyasar pencegahan stunting.

“Padahal komitmen politik dalam bentuk sebuah kebijakan yang terintegrasi dari tingkat nasional sampai dengan tingkat desa sangat dibutuhkan untuk menjamin alokasi dana nasional. Selain itu, banyak juga program yang belum tepat, seperti biskuit gizi yang sulit dikonsumsi oleh anak-anak,” katanya.

Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, drg Juanita P.F MKM menyampaikan tantangan yang selama ini dihadapi di lapangan adalah komitmen pimpinan dalam pencegahan dan penanganan stunting. “Di sini bagaimana untuk meningkatkan dukungan dari masyarakat, organisasi sipil, dan lain-lain,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Rita Pranawati, M.A. menjelaskan, dalam Undang Undang (UU) Perlindungan Anak sudah tertulis jelas bahwa anak harus mendapatkan perlindungan fisik dan perkembangan. “Ke depan, gizi anak harus dipikirkan secara keseluruhan. Harus kembali diingat bahwa dampak stunting ke depan adalah kualitas SDM,” katanya.

Exit mobile version