Akta Kelahiran Adalah Hak Setiap Anak Indonesia, Batalkan UU yang Persulit Pembuatan Akta Kelahiran!

00-akta-lahir11

Kalau tanah dan rumah dicatat oleh negara, apakah alasan tak mencatatkan anak sebagai manusia. UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai gagal mengoptimalkan pencatatan kelahiran. Buktinya?

Lebih dari 50 juta atau lebih dari setengah jumlah anak di Indonesia saat ini tidak memiliki akte kelahiran.

Padahal akte kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum. Akibat banyaknya anak yang tidak memiliki akte kelahiran, banyak anak kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan maupun jaminan sosial lainnya. Dalam penanganan perkara Anak yang berhadapan dengan Hukum  (ABH), anak juga kerap dirugikan dan kehilangan haknya karena penentuan usia di proses peradilan berdasarkan akte kelahiran.

Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan tegas dalam pasal 5 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Kemudian hal ini juga ditegaskan pada pasal 27 ayat (1) dan (2) yang menyatakan, ayat (1) “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”, dan ayat (2) berbunyi “identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) dituangkan dalam akte kelahirann”. Sementara itu UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Selain itu UUD 1945 juga memberikan jaminan atas status kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam 28 D ayat (4) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.

Selama ini pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam UU ini ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara melului sistem stelsel aktif penduduk. Penduduk yang harus pro aktif mencatatkan kelahirannya agar bisa memiliki akte kelahiran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan 4, 30 ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2 serta penjelasan Umum UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (isi pasal terlampir). Pasal-pasal tersebut mengatur keharusan setiap warga negara melaporkan kelahirannya sampai sanksi denda bagi siapa yang melanggar.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Jaringan Kerja Peduli Akte Kelahiran (JAKER-PAK) menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (4), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 26 ayat (1)  UUD 1945. Memiliki akte kelahiran adalah hak setiap anak Indonesia. Kewajiban pencatatan kelahiran seharusnya dibebankan kepada negara dan bukan kepada warga negara (stelsel aktif negara, bukan stelsel aktif penduduk). Apalagi selama ini pengurusan akte kelahiran terkendala banyak hal seperti jarak yang jauh, pengurusan yang berbelit,  hingga denda yang tidak mampu dibayar warga negara.

Untuk itu KPAI bersama Jaringan Kerja Peduli Akte Kelahiran (JAKER-PAK), akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi mengenai sejumlah pasal dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengatur tentang pembuatan akte kelahiran. KPAI dan JAKER-PAK memohon kepada Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan tersebut dan menyatakan bahwa pencatatan kelahiran adalah kewajiban negara. Negara yang mestinya aktif mencatatkan kelahiran warga bukan warga negara (stelsel aktif negara, bukan stelsel aktif penduduk).

 Wujudkan Indonesia ramah anak. Berikan akte kelahiran kepada setiap anak Indonesia.

Exit mobile version