Menyelamatkan Anak Dari Bahaya Rokok

rokokBanyak yang tidak menyadari bahwa Indonesia sekarang menempati posisi kelima tertinggi dalam konsumsi tembakau sejak tahun 2004, dan persentase perokok dewasanya paling tinggi di Asia Tenggara. Menurut Dr TB Rachmat Sentika, SP.A  Prevalensi perokok dewasa mencapai 34,40 % pada tahun 2007, sedangkan perokok usia 13-15 tahun mencapai 24,5 %.

Survey Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah perokok yang mulai merokok pada usia di bawah usia 19 tahun, dari 69 % pada tahun 2001 menjadi 78 % pada tahun 2004. Survey ini juga menunjukkan trend usia inisiasi merokok menjadi semakin dini, yakni usia 5-9 tahun. Perokok yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun mengalami peningkatan yang paling signifikan, dari 0,4 % pada tahun 2001 menjadi 1,8 % pada tahun 2004.

Hal itu sejalan dengan pemantauan  KPAI, akhir-akhir ini kebiasaan merokok aktif pada anak cenderung meningkat dan dimulai pada usia semakin muda, yaitu pada masa akhir usia sekolah atau masa remaja. Penelitian Universitas Andalas dengan responden di kecamatan Padang Barat tahun 2004 menunjukkanbahwa sebesar 97,7 % anak memulai merokok pada usia di bawah 16 tahun. Begitu pula dengan penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2004 menunjukkan data-data sebagai berikut :

Remaja mulai merokok umur 7 – 12 tahun sebanyak 20,84 % untuk laki-laki dan 4, 17 % untuk perempuan.

Umur 13-15 tahun laki-laki sebanyak 12,50 % dan bagi perempuan sebanyak 8,33 %.

Umur 16 – 18 tahun laki-laki sebanyak 47,92 % dan bagi anak perempuan sebanyak 6,25 %.

Semua ahli kesehatan termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama menyimpulkan, bahwa secara kesehatan, rokok banyak menimbulkan dampak negatif, lebih-lebih bagi anak dan masa depannya.  Rokok mengandung 4000 zat kimia dengan 200 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), di mana bahan racun ini didapatkan pada asap utama maupun asap samping, misalnya karbon monoksida, benzopiren, dan amoniak.[3]

Sayangnya menyerukan ajakan berhenti merokok di negeri ini ibarat berteriak di padang pasir nan luas tak berbatas. Sekeras apapun, sampai suara serak dan urat leher meregang sekeras apapun, tidak ada orang mengabaikannya. Sebabnya jelas, banyak pihak sangat berkepentingan dengan rokok; lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, penyangga APBN, sampai penjamin keberlangsungan kompetisi olah raga yang secara nalar mestinya berlawanan.

 Keuntungan di atas kematian

Departemen Perindustrian dalam road map industri rokok 2007-2020 menyebutkan bahwa pemerintah mentargetkan peningkatan produksi rokok dari 220 miliar batang pada tahun 2007, menjadi 240 miliar batang pada tahun 2010-2015, dan terus meningkat menjadi 260 miliar batang pada tahun 2015-2020. (Suara Pembaruan, 7 Januari 2008).

Pemerintah begitu bangganya menyusun target-target pertumbuhan industri rokok karena pada kondisi seperti sekarang saja dari cukai rokok memberikan 57 trilyun rupiah setahun. Bandingkan dengan kontribusi Freport yang sering diributkan itu hanya memberi kontribusi Rp 1 trilyun rupiah setahun. Tak pelak bila sampai sekarang pemerintah RI satu-satunya negara di Asia yang tidak mau meratifikasiFramework Convention on Tobacco Control (FCTC), walaupun Indonesia adalah 1 dari 192 negara anggota WHO, dan 137 di antaranya telah meratifikasi FCTC tersebut.

Demi 57 trilyun rupiah per tahun,  rakyat dikorbankan, rakyat didorong untuk membeli rokok, rakyat dirayu untuk menghisap racun yang mematikan secara perlahan. Inilah yang disebut sebagai politik ekonomi profiting from death (menuai keuntungan dari kematian). Lagi-lagi korbannya dari penduduk miskin, karena konsumsi terbesar rokok dilakukan oleh kelompok miskin.

Yang mengerikan, “penanggukkan keuntungan dari kematian” itu bukan hanya dari orang dewasa yang dalam setiap hisapan asap rokok menyadari bahaya  yang ditimbulkannya, tetapi juga dari anak-anak yang semestinya  diberikan hak lingkungan sehat dan dilindungi dari racun pembunuh nikotin dan zat adiktif sejenisnya.

Konstatasi di atas berangkat dari kenyataan bahwa dalam dua dekade terakhir prevalensi  perokok usia muda atau usia pertama kali merokok terus meningkat pesat. Menurut data pada Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perokok pemula, yakni umur 5-9 tahun , naik secara signifikan. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004) persentase perokok pemula naik dari 0,4 menjadi 2,8 persen.

Data tersebut didukung oleh hasil penelitikan Lembaga Penelitian Masyarakat (LPM) Universitas Andalas mengenai pencegahan merokok  bagi anak di bawah 18 tahun, yang dilakukan di kota Padang menunjukkan lebih dari 50 % responden memulai merokok sebelum usia 13 tahun. Intinya, bila sebelumnya anak merokok pertama kali pada usia belasan tahun, sekarang bergeser menjadi 5 – 9 tahun atau rata-rata 7 tahun![4]

Mereka merokok pada usia dini karena lingkungan mengkondisikan demikian. Di tingkat negara tidak ada aturan yang mengendalikan peredaran tembakau. Di rumah orang dewasa merokok tanpa mempedulikan kesehatan anak-anak. Di sekolah kita sering mendapati seorang guru mengajar sambil merokok. Di masjid kita lihat  ustad atau kiai tanpa beban tetap merokok. Di mana-mana, di setiap ruang publik anak-anak melihat   para tokoh idola mereka seperti penyanyi, bintang sinetron, tokoh politik, Menteri, dan banyak dokter di ruang praktek  juga merokok, sehingga membuat mereka ingin tahu dan ingin mencoba, hingga akhirnya ketagihan.

Pesta Iklan

Lebih-lebih dengan keberadaan iklan rokok yang tidak terkendali, membuat anak-anak Indonesia hanya dalam sedikit pilihan untuk tidak merokok. Iklan rokok di Indonesia menyerbu ke semua segmen media publik. Menurut survey AC Nielsen, pada tahun 2006  belanja iklan industri rokok mencapai Rp 1,6 trilyun, atau kedua terbesar setelah belanja iklan sektor telekomunikasi (Rp 1,9 trilyun).

Berdasarkan hasil Evaluasi Pengawasan Iklan Rokok tahun 2006, badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mencatat terdapat 14.249 iklan rokok yang tersebar di seluruh media elektronik, media luar ruang, dan media cetak, dengan proporsi terbesar di media elektronik yang mencapai 9.230 iklan.

Selain melalui iklan, promosi merek rokok dilakukan dengan menyelenggarakan event dan menyeponsori event-event tertentu yang dilakukan secara agresif oleh industri rokok. Hampir setiap merek rokok mempunyai event atau menjadi sponsor pada acara-acara musik, olahraga, baik di luar ruang maupun di televise. Dari pemantauan Komnas Perlindungan Anak pada periode Januari-Oktober 2007 tercatat ada 1350 kali kegiatan yang diselenggarakan atau disponsori industri rokok, atau rata-rata sekitar 135 kegiatan setiap bulannya.

Agresifitas iklan, promosi dan kegiatan sponsor oleh industri rokok telah berkontribusi meningkatkan konsumsi tembakau di Indonesia, terutama konsumsi tembakau oleh anak. Hal ini karena mayoritas target pasar industri rokok adalah anak muda, sehingga seluruh bentuk pemasaran, ditujukan untuk menjerat anak-anak untuk menjadi perokok pemula. Belum lagi dengan pembagian langsung produk rokok dalam suatu event, menjadikan anak-anak dimanjakan untuk memperoleh pengalaman baru. Merokok.

Iklan-iklan rokok juga dibuat provokatif, kreatif, dan selalu  di up date. Kalimat-kalimat jitu yang mampu menerkam perasaan remaja selalu berhasil diracunkan seperti; “Jangan Basa Basi”, “Mana Xpresimu”, “U are U”, “Pria Punya Selera”,  “Nggak Ada Lu Nggak Ramai”, “Kapan Kawin?”, “Siang Dipendam Malam Balas Dendam”, “Buktikan Merahmu”, dan sebagainya.

Dengan iklan-iklan yang demikian provokatif dan menguasai semua ruang publik serta media massa cetak maupun elektronik, dapat dipastikan sasarannya adalah anak muda remaja. Iklan-iklan rokok yang ada secara sistematis telah memudakan prevalensi merokok pada anak-anak.

Regulasi tentang rokok pembatasan rokok memang ada tetapi masih sangat minim. Regulasi yang ada baru berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Pada Bagian Kelima tentang iklan dan Promosi pasal 16 menyebutkan bahwa iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia, dapat dilakukan di media elektronik, media massa cetak atau media luar ruang. Iklan pada media massa elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat. Ketentuan tersebut ternyata tidak efektif untuk membendung keinginan masyarakat untuk tetap merokok termasuk anak-anak. Dengan besarnya dana yang industri rokok kucurkan untuk belanja iklan, maka tak heran bila semua jenis media telah didominasi dengan iklan-iklan rokok. Di media luar ruang pun, tak ada lagi ruang kosong tanpa reklame-reklame raksasa iklan rokok yang mendominasi jalan-jalan raya di Indonesia.

Ini berbeda dengan negara-negara lain yang lebih peka dalam melindungi warganya dari racun rokok yang mematikan. Di Asia semua negara sudah meratifikasi Framwork Convention on Tobacco Control (FCTC), tetapi Indonesia tidak melakukannya. Negara-negara tetangga kita pun seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand tidak ada yang mengijinkan iklan rokok di ruang terbuka, tetapi di Indonesia diijinkan bahkan oleh pemerintah disetting sebagai salah satu pemasukan dari dari pajak iklan. Bahkan untuk kegiatan Corporate Social Responcibility (CSR) dari industri rokok yang mestinya tidak mencantumkan merek, dalam kenyataannya tetap mencantumkan merek.

 Wajib melindungi anak

Akankah kita diam saja dengan alasan rokok adalah sumber pendapatan negara?  Mungkin itu benar. Dengan kenyataan tersebut pemerintah tidak boleh tinggal diam seakan tidak mau tahu. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan;” Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan”.

Dengan membiarkan peredaran rokok tidak terkendali berarti pemerintah tidak menjalankan amanat undang-undang tersebut. Dengan kata lain, pemerintah tidak melidungi anak-anak yang jumlahnya 35 persen dari seluruh penduduk Indonesia, tetapi 100 persen pemilik masa depan.

Untuk itu, saatnya pemerintah mengambil tindakan nyata dengan memberikan perlindungan yang memadai bagi anak-anak dari bahaya merokok. Uang memang penting untuk membiayai pembangunan negeri, tetapi kesehatan anak-anak jauh lebih

penting karena mereka yang akan menjamin kelangsungan keberadaan negeri ini. Kita bisa memastikan bahwa ketahanan nasional hanya akan tercapai bila ada ketahanan masyarakat. Ketahanan masyarakat akan tercapai bila ada ketahanan keluarga. Dan ketahanan keluarga akan bisa diwujudkan manakala anggota keluarga, anak-anak dalam kondisi sehat jiwa dan raga, tidak hidup dalam ketergantungan nikotin, alkohol, narkoba, maupun zat-zat adiktif lain.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila anak-anak pada masa sekarang tercemar oleh racun  adiktif, tidak akan lahir kepemimpinan di masa mendatang yang berkualitas baik pisik maupun psikis, bahkan sebagian mati muda karena rokok,  yang semestinya justru sangat diperlukan untuk memimpin negeri ini ke depan dalam menghadapi berbagai gangguan, ancaman, tantangan dan hambatan.

Sikap paradoksal

Amerika adalah negeri yang sadar betul akan bahaya merokok, maka pembatasan peredaran rokok terus-menerus dikontrol oleh negara. Akibat peraturan dan larangan yang ketat serta denda yang cukup besar bagi orang yang kedapatan merokok di tempat umum, Philip Morris, pemilik pabrik rokok terbesar di AS yang menghasilkan Marlboro mengalihkan usahanya ke negara-negara miskin yang banyak utangnya seperti Indonesia dengan memasang iklan-iklan raksasa di simpang jalan yang strategis.

Mereka datang mendirikan pabriknya di Jawa Timur dengan nama PT Philip Morris Indonesia Malang, dan membeli saham PT Sampurna sebanyak 1.753.200.000 lembar saham, dengan maksud untuk mengeruk keuntungan milyaran rupiah dan menumbuhkan jutaan sampah beracun yang sangat berbahaya bagi kesehatan rakyat Indonesia. Tanpa disadarinya, penduduk negeri miskin dan terbelakang yang yang masih berkutat dengan kemiskinan dan mayoritas penduduknya berpredikat Muslim ini menyambutnya dengan kepulan asap dari sebatang rokok yang mengandung 14 mg tar dan 1,0  mg nikotin jenis polisiklik hidrokarbon sambil mengucapkan lafal agamis sangat fasih; Alhamdulillah!

Luis de Torres adalah orang Yahudi pertama yang terusir dari Spanyol yang ikut expedidi Colombus dan berhasil menemukan manfaat tembakau. Torres kemudian mendiami Kuba dan menjadi good father Yahudi dalam menguasai bisnis tembakau di dunia. Usaha ini berkembang dan salah satu yang berhasil mengembangkan sayapnya ke Indonesia adalah Philip Morris yang sekarang bermarkas di Malang.

Badan Intelgen Pusat Amerika Serikat (CIA), berhasil mengungkap bahwa Philip Morris menyumbangkan 12 % dari keuntungan bersihnya ke Israel. Perlu diketahui bahwa jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,5 milyar orang, 400 juta di antaranya adalah perokok Muslim, atau sekitar 35 % dari jumlah perokok dunia. Laba yang diraih oleh produsen bermerek Marlboro, Merit, Benson & Hedges setiap bungkusnya mencapai 10 %.

Nah  berapa juta dollar yang telah disumbangkan oleh para perokok Muslim kepada zionis Israel untuk membeli persenjataan guna menyiksa dan membunuh saudara-saudaranya di Palestina? Jadi di hadapan kita, tanpa disadari telah terjadi situasi yang sangat paradoksal karena kita berteriak anti zionis Israel  tetapi sambil mengepulkan asap rokok, di mana dari asap rokok itu kekuatan zionis memperoleh sumber keuangan. Jadi mau tidak mau kita harus berkata;”How silly of me….”.

Rekomendasi

Demi menyelamatkan anak dari bahaya rokok, maka pemerintah wajib segera melakukan aksi konkret.

Pertama, segera meratifikasi konvensi pengendalian tembakau (FCTC).  Tentu butuh keberanian karena industri rokok dengan kekuatan uangnya pasti akan melakukan penentangan. Dalam FCTC diatur secara tegas kadar nikotin pada rokok dan tata cara beriklan yang lebih beradab, bila perlu larang seluruh bentuk iklan di manapun di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Kedua, Bebaskan sama sekali  negeri ini dari iklan rokok di ruang publik mana pun. Di singapura, di Malayisa, di Thailand, di Jepang, dan berbagai negara beradab lainnya kita tidak menemukan billboard iklan rokok, juga di televisi. Tanpa iklan sekali pun, rokok tetap akan dikonsumsi massal. Seperti halnya narkoba, yang tanpa iklanpun  produksi dan konsumsinya terus meningkat dari hari ke hari.

Ketiga, Perlu segera diintrodusir undang-undang perlindungan anak dari bahaya rokok. Setidaknya, masukkan ketentuan-ketentuan bahaya rokok bagi anak dalam revisi Undang-Undang Kesehatan yang sedang dipersiapkan. Dalam UU ini harus memuat ketentuan; larangan anak merokok, larangan memperjualbelikan rokok kepada anak; larangan mempekerjakan anak di pabrik rokok, larangan ibu hamil merokok, dan larangan merokok di depan ibu hamil.

Keempat, agar barang rokok tidak mudah diperoleh, maka cukai rokok harus dinaikkan setinggi-tingginya, tetapi produksi rokok harus ditekan serendah-rendahnya.

Kelima, buat ketentuan yang melarang pabrik rokok menjadi sponsor dalam kegiatan olah raga, seni, maupun kegiatan keilmuan. Kegiatan sponsorhip pada kegiatan olah raga, seni dan kelilmuan akan menjadi model legitimasi keberadaan mereka di tengah masyarakat, bahkan boleh jadi akan dijadikan pahlawan karena mengangkat prestasi olah raga, seni, dan keilmuan.

Keenam, perluas kawasan bebas asap rokok, tidak hanya di ibu kota tetapi juga di daerah-daerah. Kawasan Sekolah, tempat ibadah, fasilitas umum harus sungguh-sungguh steril dari asap rokok.

Ketujuh, Para tokoh agama, ulama, kiai, harus bersepakat bulat bahwa merokok adalah haram karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Para tokoh agama, tokoh masyarakat tidak lagi memberi contoh jelek dengan merokok di depan umum yang dilihat dan ditiru oleh anak-anak.

(Disampaikan dalam Lokakarya Kajian Kebijakan Penanggulangan Masalah Tembakau, yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, di Hotel Sahid Jaya, Bekasi, Tanggal 12 Desember 2008).

Exit mobile version