Jakarta (29/03) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah Lembaga Negara Independen yang memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan pasal 76 KPAI salah satu tugas KPAI adalah, e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak. Dalam rangka mendukung tugas tersebut, KPAI melaksanakan kegiatan Workshop mengenai Peningkatan Kapasitas Mediator 2021. Tujuan berjalannya workshop ini adalah untuk mendalami bagaimana dasar hukum yang berlaku untuk mediasi daring di Indonesia, karena sistem tersebut telah sah secara hukum dan sudah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 3 “Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.” Maka selama Para Pihak dapat saling mendengar dan melihat di dalam mediasi daring, mediasi dianggap sah keberadaannya.
“Rekomendasi mediasi daring terjadi karena adanya hambatan dari faktor geografis atau jauhnya fasilitas. Tetapi harus di lihat juga bagaimana para pihak dalam fasilitas mediasi daring. Peraturan sudah di buat, namun persiapan infrastrukturnya yang sulit,” ucap Edy Prabowo dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Ada berbagai tahapan yang harus dilakukan saat ingin melakukan mediasi online:
1. Provider ( lembaga swasta yang mengelola mediasi secara daring), provider swasta bisa juga sebagai arbitrer;
2. Adanya kesepakatan para pihak secara bersama-sama;
3. Rahasia yang terjamin (harus ada perjanjian sebelumnya), tidak boleh adanya perekaman (mediator juga seharusnya tidak boleh merekam), sengketa perdata mengenai kepentingan harus dimusnahkan (meskipun berhasil atau tidak berhasil);
4. Provider atau KPAI harus memiliki sistem yang mantap;
5. Harus dapat dipercaya dari sisi proses dan hasil (mengenai tanda tangan elektronik yang reliable).
Sebuah proses mediasi dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama, sehingga nantinya mediator tidak dapat dijadikan sebagai saksi dalam setiap perkara yang di mediasikan dan tidak dapat juga diminta pertanggungjawaban terkait hasil mediasi, sebab mediator memiliki perlindungan di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016.
Para mediator di masa pandemik ini memiliki tantangan dalam melakukan mediasi secara daring yaitu budaya daring yang belum terbangun, para pihak belum terbiasa, keamanan/kerahasiaan, kesesuaian (tanda tangan yang reliable). Oleh karena itu mediator diharapkan dapat meluangkan waktu lebih awal sebelum melakukan mediasi dan membuat tanda tangan digital melalui aplikasi. Selain itu, salaam proses mediasi tidak menggunakan virtual dengan tujuan saling menjaga kerahasiaan serta kebenaran lokasi mediasi daring.
“Apabila akan dibawa ke pengadilan maka mediator harus ikut tanda tangan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, tetapi jika hanya untuk Berita Acara Mediasi yang tidak di bawa ke pengadilan maka mediator tidak perlu untuk ikut tanda tangan,” ucap Fahmi Shahab dari Pusat Mediasi Nasional.
Selain mendengarkan dan melakukan tanya jawab dengan narasumber, para peserta diajak untuk melakukan simulasi proses mediasi secara langsung yang bertujuan untuk membangun kemampuan mediator dalam sebuah hubungan dengan para pihak. Dengan workshop ini diharapakan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas layanan mediasi di KPAI sebagai upaya perlindungan anak.