Pernikahan Dini, Negara Harus Selamatkan Generasi

PADANG – Konvensi Hak Anak (KHA) tidak secara tegas mendefenisikan Pernikahan usia anak, tetapi anak secara jelas didefenisikan seseorang yang belum berusia 18 tahun. Konvensi PBB tentang Persetujuan untuk Pernikahan, Usia Minimum untuk Pernikahan, dan Pencatatan Pernikahan telah diberlakukan sejak tahun 1964. 

Akhir-akhir ini jagad raya Indonesia dalam pemberitaan media dihebohkan dengan pernikahan usia anak tamat SD di Bantaeng dengan pengantin wanita kelas 2 SMK dan seolah-olah kita tidak bisa menstop peristiwa tersebut. 

Tentu kita tidak kaget juga, sebab data menunjukkan lebih dari 340 ribu pasangan usia anak menikah setiap tahunya, data tersebut menunjukan Indonesia masih tinggi terjadinya pernikahan usia anak dan salah satu tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Dalam laporan data perkawinan usia anak di Indonesia yang dirilis oleh UNICEF dan Badan Pusat Statistik tahun 2016 menyebutkan bahwa anak perempuan pernah menikah pada usia 16-17 tahun. Data pengaduan anak korban pernikahan dibawah umur Komisi Perlindungan Anak Indonsia (KPAI) dalam 8 tahun terakhir sebanyak 95 kasus yang terlaporkan. Sementara penulis meyakini data tersebut sangat banyak kejadian perkawinan yang disamarkan ditengah masyarakat.

Banyak faktor yang pendorong terjadinya pernikahan usia anak. Secara umum faktor tersebut diantaranya persoalan ekonomi keluarga yang sangat miskin. Sehingga dengan alasan demikian menikahkan anak diharapkan bisa membantu dan mengurangi beban berat ekonomi keluarga. Namun survei Litbang Kompas tahun 2017 menyatakan bahwa pernikahan usia anak tidak menjadikan kondisi ekonomi keluarga lebih baik, bahkan memelihara dan memindahkan kondisi kemiskinan keluarga asal kepada anak yang menikah, ibarat jatuh ditimpa tangga pula.Faktor lain yang memicu terjadinya pernikahan usia anak adalah persoalan sosial budaya yang ada disebagian masyarakat yang mulai menjodoh-jodohkan anaknya dari mulai tamat SD/SMP.

Kasus Banteang misalnya dimulai dari kebiasaan masyarakat menikahkan anak usia anak adalah hal yang biasa terjadi di masyarakat. Kendatipun dalam informasi yang diperoleh ada motif ekonomi dan melihat besarnya mahar yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon pengantin wanita. Kemudian persoalan akses pendidikan yang terbatas ke jenjang lebih tinggi juga mendorong anak dan orang tua untuk menikahkan anaknya.

Kalau akses pendidikan bagi anak diperoleh sampai SLTA secara baik maka anak-anak kita akan terhindar dari pernikahan tersebut dan orang tua memiliki alasan bahwa anaknya masih bersekolah. Walaupun banyak juga kasus ditemukan anak-anak tidak melanjutkan sekolah, karena hamil diluar nikah selama menempuh pendidikan. Kemudian sekolah memberhentikan siswa tersebut dan orang tua karena alasan malu maka pernikahan adalah salah satu alasan penyelesaian jangka pendek.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat B menyatakan bahwa Pasal 28 B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa negara, pemerintah, keluarga dan masyarakat berkewajiban memberika pemenuhan hak dan perlindungan anak secara optimal. Bahkan Pasal 26 ayat 1 poin c menyebutkan kewajiban orang tua dalam mencegah terjadinya pernihakan usia anak. 

Regulasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di Indonesia sudah cukup kuat dalam memastikan 87 juta anak Indonesia bisa tumbuh dan berkembang secara baik sesuai dengan usianya. Program-progam pemerintah sudah ada upaya pencegahan agar tidak terjadi pernikahan usia anak. Misal Kementerian Perempuan dan Perlindungan anak dengan program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), BKKBN dengan program Generasi Berencana (Genre), Kemenkes dengan program keluarga sehat, dan lain-lainya. Namun upaya-upaya program tersebut belum efektif mencegah terjadinya pernikahan usia anak. Perlu kerja keras pemerintah pusat dan daerah bersama masyarakat untuk melakukan program pencegahan secara efektif dan efesien.

Dampak Buruk

Banyak laporan dan analisis menyampaikan dampak buruk yang dialami oleh pasangan menikah usia dini, baik dari sisi kesehatan pernikahan ini belum memiliki kematangan pertumbuhan organ tubuh dan kalau terjadi kehamilan pada pasangan ini akan terjadi pertumbuhan bayi tidak sempurna, kekurangan asupan gizi dan terjadi “persaingan” asupan gizi yang dibutuhkan anak dan ibunya yang sama-sama membutuhkan tumbuh kembangnya dan berisiko besar terkait kematian ibu melahirkan. 

Laporan UNICEF merilis bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak memiliki risiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahunan. Bayi yang dilahirkan oleh pengantin anak juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk lahir prematur, dengan berat badan lahir rendah, dan kekurangan gizi.

Secara ekonomi, pernikahan usia anak dipastikan masih dibiayai dari orang tua dan untuk mencari pekerjaan formal pasangan ini akan mengalami kesulitan karena secara pendidikan masih rendah dan bahkan laporan menunjukan 80% anak yang menikah tidak melanjutkan sekolah. 

Kehidupan rumah tangga beberapa kasus juga kita temukan terjadi pertengkaran terus menerus karena secara  psikologisusia anak belum tumbuh menjadi pribadi dewasa, sehingga rentan terjadi kekerasan fisik dalam hubungan rumah tangganya. Oleh sebab itu pernikahan usia anak sangat membahayakan bagi tumbuh kembangnya dan merupakan bentuk pelanggaran hak-hak anak baik dari sisi pemenuhan maupun perlindungan anak.

Pemerintah dan pemerintah daerah termasuk orang tua dan masyarakat, perlu mencermati laporan UNICEF dan BPS tahun 2016 menyampaikan lima rekomendasi untuk membantu memastikan bahwa stagnasi dalam penurunan prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia dapat dipercepat kembali: 1) meningkatkan intervensi untuk perlindungan anak perempuan usia 15-17 tahun, dengan fokus utama penyelesaian sekolah menengah; 2) menangani norma sosial dan budaya yang menerima atau melestarikan praktik terssebut dengan orang tua, guru, keluarga besar, dan tokoh agama; 3) menangani kerentanan akibat kemiskinan dengan menciptakan lebih banyak kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi dan pelatihan keterampilan ekonomi; 4) menargetkan upaya-upaya ke provinsi, kabupaten, dan kecamatan dengan prevalensi dan angka mutlak perkawinan usia anak paling tinggi dan 5) mendukung riset lebih lanjut tentang isu perkawinan usia anak di Indonesia. Semoga semua upaya kita dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan anak secara terus menerus hadir dalam memberikan solusi yang terbaik bagi anak Indonesia. Termasuk memberikan pengetahuan, skill dan praktik lapangan terkait pengasuhan orang tua (good parenting) bagi anaknya. Sehingga benteng utama dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak bisa dijalankan oleh orang tua secara baik. (*)

Editor : Elsy Maisany
Sumber Berita : Jasra Putra – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Exit mobile version