HAK ASUH BAGI ANAK KEWARGANEGARAAN GANDA KETIKA ORANG TUA BERCERAI

Dalam hal terjadi perceraian kedua orang tua dalam perkawinan campuran yang sah, untuk menentukan hak asuh terhadap si anak, semula secara internasional hak asuh tersebut didasarkan pada hukum nasional si anak yang mana hal ini diatur dalam Konvensi Den Haag 1902. Akan tetapi sejak adanya Konvensi Den Haag 1961, hukum yang diberlakukan untuk menentukan hak asuh didasarkan pada tempat sehari-hari anak tersebut berdiam (habitual residence) yakni secara fisik untuk jangka waktu tertentu yang dianggap cukup untuk melakukan adaptasi di lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan hukum nasional si anak, seringkali tidak mencerminkan keadaan sebenarnya si anak tersebut.

Dalam kasus-kasus perceraian antara kedua orang tua yang berbeda kewarganegaraan ini di Indonesia baik yang diputus oleh Pengadilan Negeri (bagi non-muslim) maupun yang diputus oleh Pengadilan Agama (bagi yang muslim), pengadilan tetap akan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 untuk mengajukan perkaran ke Pengadilan Negeri dan ditambah dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama untuk yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama, sebagai pedoman untuk memutuskan hak asuh bagi anak. Hal ini disebabkan karena hak asuh yang diminta adalah putusnya perceraian dari mereka yang melakukan perkawinan campuran sesuai dengan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Karena itu ketentuan baik masalah perceraian maupun hak asuh (pemeliharaan anak) tunduk pada Pasal 41, Pasal 45, Pasal 47 dan Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Kepada siapa hak asuh akan diberikan, berdasarkan Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974, akan diberikan kepada orang tua bersama (joint custody) hanya bila ada perselisihan mengenai penguasaannya maka pengadilan akan memutuskan kepada siapa hak asuh akan diberikan. Namun, patokan baik oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama akan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Di Pengadilan Negeri tidak ada pengaturan yang tegas mengenai hak asuh, namun anak yang masih kecil akan diberikan kepada pihak ibu. Pada Pengadilan Agama maka menggunakan Pasal 105 KHI bahwa anak-anak yang belum berusia 12 tahun akan diberikan hak asuhnya kepada ibu, kecuali pertimbangan hakim menyatakan anak lebih baik diasuh oleh ayahnya.
Kewarganegaraan ganda tidak menjadi faktor untuk menentukan pemberian hak asuh. Hal ini dikarenakan yang diutamakan walaupun ada sengketa pengasuhan ini ialah memperhatikan kepentingan terbaik anak. Meskipun hak asuh berada di si ibu bukan berarti ayah lepas tanggung jawab. Pengadilan akan menentukan besaran nafkah ayah terhadap anak (juga dapat nafkah untuk mantan istri) itu untuk per bulannya disesuaikan dengan kemampuan ayah, serta juga akan menentukan kapan saja si ayah dapat bertemu dengan anaknya.

Terdapat permasalahan ketika putusan ini dikeluarkan, yakni ayah tidak dapat bertemu dengan anak karena dihalangi oleh ibu dan akhirnya mengadukan persoalan ini ke KPAI. Bagi ayah yang tidak dapat bertemu dengan anak yang datang ke KPAI guna ditindaklanjuti, maka harus membawa akta lahir anak, fotokopi kartu identitas yang bersangkutan, tulisan kronologis kejadian pada satu lembar kertas dan ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, fotokopi bukti melakukan kewajiban memberi nafkah serta fotokopi putusan pengadilan.

Ada beberapa alasan ibu tidak mau memberikan kesempatan ayah bertemu yakni belum dipenuhinya nafkah misalnya. Kalau hal ini terjadi maka si ayah harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu. Atau alasan karena ingin menghapus jejak ayahnya (anak masih terlalu kecil pada saat perceraian) dengan mengatakan pada anak kalau ayahnya sudah meninggal. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa,”Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”

Sehingga untuk menangani hal ini maka KPAI akan melakukan mediasi terlebih dahulu yang diawali dengan melakukan pemanggilan kepada ibu kemudian ayah dan ketika ada pokok persoalan yang tidak disepakati kedua belah pihak, dapat diselesaikan di satu hari yang mana pihak ayah dan ibu bertemu untuk mencari solusi pokok persoalan yang belum terpecahkan. Namun, jika pihak ibu tidak kooperatif, maka akan dilakukan pemanggilan tiga kali tetapi jika tidak datang juga, maka KPAI akan mengeluarkan suatu surat pernyataan bahwasanya pihak ibu sebagai Terlapor sudah dipanggil berdasarkan ketentuan atau Standar Operasional Prosedur (SOP) namun tidak datang sehingga KPAI mensarankan untuk menempuh jalur lain yakni upaya hukum. Dapat juga KPAI mengeluarkan surat rekomendasi untuk pengadilan tempat hak asuh diputus untuk menetapkan putusan eksekusi bahwa ibu tidak melaksanakan putusan pengadilan sehingga minta penetapan ibu harus menjalankan putusan tersebut. Hal ini juga berlaku bagi ayah yang membawa anaknya dan tidak mau memberikan anaknya kepada ibunya sebagai pemegang hak kuasa asuh.

Bagaimana dengan hak asuh ketika salah satu pihak meninggal? Maka secara otomatis hak asuh akan jatuh ke pihak orang tua yang masih hidup kecuali pengadilan menyatakan orang tua tersebut tidak cakap untuk mendapatkan hak asuh. Dengan demikian, pengadilan tempat anak memiliki kediaman sehari-hari akan menunjuk “wali” untuk anak tersebut. Perlindungan yang diberikan oleh negara lain dimana anak menjadi warga negara bila tidak setuju dengan putusan hakim yang berada di kediaman anak itu sehari-hari, maka baik penentuan hak asuh atau penunjukkan wali, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Internsaional yang mana patokan utamanya ialah kepentingan terbaik anak.

Exit mobile version