“INTERNATIONAL CHILD ABDUCTION” dan IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Putusnya perkawinan campuran karena perceraian yang diikuti dengan adanya pemeliharaan anak, baik pemeliharaan anak yang hanya dilakukan oleh salah satu orang tua (sole custody) maupun pemeliharaan anak secara bersama antara kedua orang tua (joint custody) membawa akibat yang tidak menguntungkan kepada semua pihak, baik terhadap anak-anak yang dilahirkan, maupun terhadap kedua orang tua dan kerabat.

Terhadap si anak, ia tidak lagi mendapat perlindungan secara utuh dari kedua orang tuanya, sebagaimana yang akan diperolehnya bila kedua orang tuanya tidak bercerai. Terhadap orang tua, tidak dapat lagi melaksanakan hak kekuasaan orang tua (parental responsibility) yang dimilikinya secara sempurna kepada anak-anaknya, karena hak tersebut hanya dapat dilaksanakan selama anak berada di bawah penguasaannya (baik untuk pemegang pemeliharaan anak (custody) maupun pemegang hak kunjung (access).

Seringkali apabila salah satu orang tua tidak puas akan putusan pemeliharaan anak yang dijatuhkan oleh pengadilan, ia melarikan (abduct) anak-(anak) tersebut ke negara di luar tempat kediaman sehari-hari (habitual residence) si anak dan membawanya ke negara lain atau ke negara asalnya untuk selamanya. Akibatnya si anak akan kehilangan kontak dengan orang tua lainnya.

Secara internasional, telah ada Konvensi yang mengatur masalah penculikan anak yakni Konvensi Den Haag 1980. Konvensi ini belum diratifikasi oleh Indonesia namun ratifikasi tersebut tidak perlu terburu-buru. Dalam Mukadimah Konvensi, negara penandatanganan dengan tegas menyatakan bahwa dalam hal pemeliharaan anak, kepentingan anak merupakan hal yang utama. Konvensi ini dimaksudkan untuk melindungi anak-anak secara internasional dari pengaruh yang membahayakan karena pemindahan atau penguasaan mereka secara melawan hukum dan menciptakan tata cara yang menjamin pengembalian mereka ke Negara di mana mereka mempunyai kediamaan sehari-hari dan menjamin dilindunginya hak kunjung.

Seringkali dalam kasus permohonan pengembalian anak si “abductor parent” berbicara tanpa bukti dalam menjawab gugatan orang tua yang memohonkan pemulangan si anak dan untuk menguatkan apa yang dikatakannya itu ia minta agar ia didengar sebagai saksi. Hakim-hakim yang tidak berpengalaman memperlakukan pemeriksaan sehingga seringkali “abductor” merasa hukum ada di tangannya dan percaya hakim akan mensahkan apa yang ia lakukan.
Dampak psikologis dari anak yang “diculik” ini ialah pertama, anak itu sudah menderita karena perceraian orang tuanya. Setelah itu tiba-tiba diputuskan dari lingkungan keluarganya, dari salah satu orang tua, nenek-kakek, sekolah dan kawan-kawannya. Anak-anak tidak dapat mengerti apa yang terjadi padanya. Keadaan akan semakin buruk apabila si “abducted parent” bersembunyi dari polisi atau mencegah tindakan “penculikan kembali”, ketika si anak menyadari ada “perang” diantara kedua orang tuanya. Anak-anak yang “diculik” ini yang sudah merasa trauma setelah kehilangan salah satu orang tuanya merasa takut akan kehilangan orang tua lainnya sehingga menimbulkan apa yang dikenal sebagai Parental Alieanation Syndrome (PAS) yang juga dikenal sebagai “using the children as a weapon”.

Seringkali si anak menjadi sangat sensitif terutama sebagai akibat indoktrinasi yang dilakukan oleh si “abductor” yang menjelek-jelekkan orang tua lainnya sehingga si anak tidak mau menerima kehadiran orang tua lainnya itu, misalnya dikatakan pihak orang tua lain itu tidak mau bertemu dengan si anak lagi dsb, padahal ia menghalangi dengan menyembunyikan anak tersebut.

Perlukah untuk menjamin pemulangan anak tersebut ke tempat ia mempunyai “habitual residence”, “child abduction” ini dimasukkan sebagai tindakan kriminal? Hal ini perlu dipertimbangkan dengan benar, karena sering hal ini dijadikan alasan bagi si “abductor” untuk lebih meningkatkan usahanya dalam menyembunyikan anak, terutama bila si anak berada di Negara di mana ada keluarga atau komunitas yang mendukung disembunyikannya anak tersebut. Selain itu harus dipikirkan resiko dari dijadikannya hal ini sebagai tindakan kriminal bagi si anak yang melihat salah satu orang tuanya dipenbjarakan oleh orang tua lainnya. Selain kemungkinan yang dapat berakibat Parental Alieanation Syndrome (PAS) bagi si anak, hal ini dapat dijadikan alasan bagi si “abductor parent” bahwa pengembalian si anak akan membahayakannya secara psikologis dan menempatkan anak pada situasi yang tidak toleran, sehingga anak tidak bisa dikembalikan.

Di Amerika Serikat, bila si “abductor parent” tersebut adalah warga negara Amerika Serikat maka paspornya dapat dicabut sehingga bila ia ada di negara lain ia dapat dideportasi. Akan tetapi ancaman pencabutan paspor ini seringkali tidak mencapai tujuan karena bila ia tahu bahwa paspornya akan dicabut, maka si “abductor parent” ini akan terbang lagi entah kemana dengan membawa si anak. Karena itu dianjurkan bila mengetahui keberadaan si anak, misalnya dengan bantuan INTERPOL atau FBI, lebih baik bernegosiasi, akrena setidak-tidaknya dapat berkomunikasi dengan si anak.

Di Filipina, parental child abduction tidak termasuk dalam tindakan kriminal. Sengketa mengenai pemeliharaan anak termasuk sebagai masalah hukum perdata dan diselesaikan oleh para pihak atau melalui pengadilan. Secara umum anak yang berumur di bawah 7 tahun diserahkan pemeliharaannya kepada si ibu. Meskipun tidak ada perjanjian antara Filipina dan Amerika Serikat mengenai pelaksanaan keputusan Hakim, pengadilan di Filipina akan selalu memperhatikan putusan-putusan pemeliharaan anak yang diputus oleh hakim asing dalam memutus sengketa mengenai anak-anak di Filipina. Walaupun antara Filipina dan Amerika Serikat memiliki perjanjian ekstradisi, namun demikian parental child abduction tidak termasuk ke dalam pelanggaran yang dapat diserahkan kepada negara lain. Akan tetapi apabila paspor Amerika Serikat sudah dicabut akan dapat dipertimbangkan kembali untuk dideportasi.

Di Indonesia sendiri, bila salah satu orang tua tidak puas dengan putusan Hakim atau memperkirakan putusan Hakim tidak akan menguntungkannya, maka seringkali orang tua yang tidak puas akan memindahkan anak itu ke tempat lain yang bukan tempat kediaman sehari-harinya tanpa sepengetahuan dan seizin orang tua yang lain, biasanya ke Negara asalnya atau ke negara lain. Orang tua yang oleh Hakim ditunjuk sebagai pemegang hak kuasa asuh akan berusaha menuntut pengembalian anak karena merasa haknya telah dilanggar.

Hakim di Indonesia sendiri dalam memutuskan perkara child abduction belum mempertimbangkan masalah dibawanya si anak oleh salah satu pihak tanpa seizin orang tua yang memegang hak asuh yang dapat dikatakan secara melawan hukum, tetapi Hakim di Indonesia seolah-olah menganggap bahwa permasalahan yang diputus hanyalah masalah permohonan pemeliharaan anak biasa.

Terdapat beberapa kasus child abduction yang terjadi di Indonesia, misalnya kasus Djoko Soesanto (WNI) vs. Bettina Renatser (WNA, Jerman), Hakim memutuskan bahwa anak yang pertama (6 tahun) jatuh ke tangan ayah dan anak kedua (4tahun) jatuh ke tangan ibunya, serta menolak permohonan ayah untuk mengubah kewarganegaraan kedua anaknya yang tadinya Jerman menjadi WNI karena menurut pengadilan hal ini bukanlah wewenangnya. Pemisahan ini dilihat dapat mempengaruhi psikologis si anak tanpa memperhatikan kepentingan terbaik anak karena dipisahkan dari orang tua yang satu serta dipisahkan dengan saudara yang satunya lagi.

Kasus lain terjadi antara lain terjadi antara Castello Casals Richard Michael jose (WNA, Perancis) vs. Junita (WNI) yang pada akhirnya memutuskan hak asuh jatuh ke tangan ayah karena si anak mengalami suatu penyakit yang mana demi pengobatan si anak tetap berlanjut di Perancis dengan keseluruhan biaya ayah yang menanggung. Namun, pada kenyataannya disana sanga anak justru tinggal dengan sang nenek yang tidak memiliki hak kekuasaan orang tua karena kedua orang tua masih hidup dan tidak pula ada keputusan hakim yang menunjuk nenek sebagai wali. Nenek dapat memiliki hak wali ketika kedua orang tua tidak mampu menjalankan kekuasaan orang tua. Penguasaan terhadap si anak oleh hakim diberikan kepada si ayah bukan kepada nenek, oleh karenanya penguasaan yang dilakukan nenek adalah tidak sah. Pengembalian si anak kepada si ibu, seharusnya yang diperintahkan oleh Hakim, bukan membiarkan si anak berada di bawah penguasaan orang lain yang tidak mempunyai kekuasaan orang tua.
Kasus yang lainnya yang terkait parental child abduction dialami oleh Samantha yang lahir dan berkewarganegaraan Belanda, yang mana terjadi antara ibu (WNI) dan ayah (WNA, Belanda) yang mana hak asuh yang diputuskan oleh pengadilan di Belanda memang jatuh ke tangan si ibu namun dengan menggunakan izin tinggal karena dianggap masih berkewarganegaraan asing. Namun ketika suatu waktu si ibu lalai untuk memperpanjang izin tinggal sehingga anak itu dideportasi yang mana dijemput oleh neneknya. Kemudian ia mengajukan kembali ke Pengadilan Negeri di Belanda yang memutus hak asuh itu agar si ibu dinyatakan sebagai wali sah dan mengembalikan Samantha ke tangan ibunya.

Namun di Indonesia sendiri jarang terjadi putusan terkait child abduction antara perkawinan campuran yang mempertimbangkan keberadaan hukum asing karena ketidakpahaman Hakim Indonesia terkait Hukum Perdata Internasional. Selain itu ketiadaan undang-undang dan petunjuk bagi pengadilan untuk menangani masalah child abduction sehingga pengadilan memutus permohonan “pemeliharaan anak” biasa.

Exit mobile version