Lindungi Korban Kekerasaan Anak

JAKARTA – Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, tidak perlu berpolemik dengan diterapkannya hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak-anak. Karena, yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana korban pemerkosaan yang notabene anak-anak ini didukung oleh masyarakat.

“Yang terungkap adanya korban kejahatan seksual adalah yang dilaporkan saja, tapi yang tidak (dilaporkan) juga banyak, mengapa? Karena, dianggap itu aib,” ujar Erlinda di Jalan Suryo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Erlinda memaparkan, tidak sedikit keluarga yang memilih membawa anaknya pada psikolog daripada harus melaporkan pada pihak kepolisian.

Alasannya karena saat anak yang menjadi korban kejahatan seksual baru dibawa ke tingkat RT, RW, atau lurah saja sudah dianggap aib.

Maka, tidak heran, menurut Erlinda, banyak kasus pemerkosaan tidak sampai pada penyelidikan kepolisian. Bahkan, kalau sampai dilaporkan pun, kata dia, polisi akan kesulitan untuk menemukan alat bukti maupun saksi pada saat peristiwa.

“Penyebab utama penyelidikan (korban pemerkosaan) paling susah adalah menemukan saksi dan alat bukti yang lain,” ujar Erlinda.

Sementara, kata dia, kejahatan seksual saat ini yang paling banyak terjadi pada ranah anak-anak berusia di bawah lima tahun. Pada usia ini, kata dia, bagaimana anak tersebut akan bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, begitu pun bila ada saksi.

“Anak di bahwa lima tahun, bagaimana anak tersebut bisa menceritakan kalau berbicara saja susah. Itu yang menjadi PR bersama,” ujar Erlinda.

Terakhir, Erlinda mengaku setuju dan mengapresiasi adanya hukuman tambahan kebiri ini.

Apalagi, kata dia, bila mengingat banyaknya korban kejahatan seksual yang tidak terdata itu sehingga diharapkan hukuman kebiri dapat melindungi anak-anak dan membuat para pelaku jera.

Polemik hukuman kebiri terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Polemik terjadi karena pemerintah telah memutuskan menambah pidana hukuman kebiri kimiawi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perlindungan Anak. Kebiri diperuntukkan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Presiden mengatakan, lingkup perppu itu mengatur pemberatan pidana dan atau pidana tambahan serta tindakan lain bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pencabulan dengan syarat-syarat tertentu.

Presiden berharap, penambahan peraturan itu dapat memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku sehingga menimbulkan efek jera dan dapat menekan angka kejahatan seksual terhadap anak.

Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, ada kekeliruan asumsi yang melatarbelakangi hukuman kebiri kimiawi. Banyak pihak berpikir motif kejahatan seksual terhadap anak adalah karena motif seksual.

Faktanya, kata dia, dalam banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku adalah dominansi dan kontrol. “Di balik itu ada amarah, dendam, kebencian yang berkobar-kobar,” ujarnya.

Datangnya luapan perasaan negatif itu, antara lain, berasal dari kesakitan yang muncul karena si predator pernah mengalami perlakuan kekerasan serupa semasa usia belia.

Menurut Reza, tindakan memviktimisasi anak- anak dapat dipahami sebagai cara si predator melampiaskan dendamnya. Anak-anak selaku target lunak merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran pengganti pengeks presian sakit hati sang predator.

Psikiater Dadang Hawari menyayangkan adanya pihak-pihak yang mengatakan kebiri merendahkan martabat seseorang. Dadang mengimbau agar mereka jangan hanya melihat dari sisi nasib si pelaku kekerasan seksual semata. Mereka juga harus memedulikan dan membela korban. Menurut dia, penderitaan yang dialami korban jauh lebih berat daripada pelaku yang dikebiri. “Korban bisa seumur hidup mengalami stres dan trauma,” ujar Dadang.

Dadang yakin pemerintah tidak sembarangan mengambil keputusan perihal hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Keputusan ini berangkat dari banyaknya kasus kekerasan seksual sadis yang menjadikan anak-anak sebagai korbannya.

Exit mobile version